Tahun 90-an, tv-ku masih hitam-putih, untuk mengganti channel tv, kami harus memutar-mutar tunning. Tidak jarang kami harus memutar-mutar antena untuk mendapatkan gambar yang lebih jernih. Nontonnya beramai-ramai dengan teman sebaya, maklum, kala itu yang mempunyai tv cuma satu-dua.
Salah satu artis yang berkesan adalah si Doel, sosok Rano Karno di serial Si Doel Anak Sekolahan yang pantang menyerah untuk menyelesaikan kuliah s1-nya. Ehm, kabarnya ada si Doel ada The Movie-nya, kuliah di Amsterdam kan ya? Bhahaha, emak ketahuan habis nonoton acara gosip.
Mitos Sarjana di Kampung
Di kampung beredar mitos, kalau ingin jadi sarjana, maka harus rela menjual tanah. Beh, membayangkan Bapak dan Ibu harus menjual tanah demi biaya kuliah, sungguh membuatku bergidik ngeri. Beberapa tetangga yang berhasil meraih predikat sarjana juga harus menjual tanahnya.
Aku bertanya-tanya, berapa biaya kuliah?
Sempat terbesit untuk menghentikan cita-cita kuliah di dalam hati, apalagi kala itu Bapak dan Ibu hanya petani di kampung, membiayai SMA-ku aja megap-megap, membayangkan beliau membiayai kuliah sungguh membuatku tidak tega. Untungnya, aku teringat sosok si Doel, bukankah aku bisa kuliah sambil kerja?
Alhamdulillah, aku enggak usah kerja, paling banter ngelesi doang setiap hari selama dua-tiga jam. Mirip-miriplah, si Doel nyetir oplet, daku ngelesin. Bahahah, jauh amat perumpamaannya, Mak. Semester 6, aku menikah, biaya kuliah otomatis bergeser ke abah K. Heuheuu.
Babe dan Enyak yang jauh dari hingar-bingar teknologi adalah cerminan Bapak dan Ibu. Beliau berdua memang enggak update teknologi terkini, tetapi untuk urusan kuliah, beliau selalu mengutamakan.
Tekad Menjadi Seorang Sarjana
Baik di garis Ibu maupun Bapak, kala itu belum ada yng menikmati bangku kuliah. Aku bertekad untuk mendobrak, agar ada yang bisa kuliah tanpa membuat orang tuanya bangkrut, sehingga adik-adik bisa mengikuti jejak untuk sekolah setingg-tingginya.
Bukan perkara ijazah, sungguh, tetapi perkara tekad untuk belajar tanpa kenal henti. Aku merasakan sendiri, bagaimana keinginan belajar itu hilang kala sudah lulus SMA. Tekad untuk kuliah semata agar aku berkembang dan belajar tanpa kenal sudah. Di bangku kuliah, aku mempelajari semua media agar kelak kala sudah lulus, aku tetap bisa belajar melalui media-media yang pernah kupelajari.
Benar saja, dua tahun lulus kuliah, meskipun aku memendam sejenak keinginan untuk melanjutkan s2, aku masih belajar dari mana-mana, dari situs-situs open class, dari komunitas, dari grup-grup facebook yang kuikuti.
Belajar tiada henti, ijazahku belum kembali. BAHAHAHA, Ijazahku belum kuambil, masih titip di rumah seorang sahabat. Aku belum mempunyai keinginan untuk mendaftar kerja dengan menggunakan ijazah, entar saja, kalau anak-anak sudah mandiri, aku akan kembali mengajar meskipun gajinya cuma bisa buat beli pulsa. Sekarang optimasi blog dan investai dulu, biar kelak ketika tiba masanya untuk mengajar kembali, sudah enggak mikir keperluan hidup mau cari kemana.
Emak K ngelantur enggak karuan. Wkwkwk, selamat mengukir asa, selamat belajar tanpa mengenal sudah.
Salam!
Widi Utami, deaf mommy