Impaksi, terhambatnya proses erupsi gigi secara menyeluruh atau sebagian. Dalam bahasa awamnya, gigi tidak tumbuh sempurna karena ada sesuatu yang menghalangi tumbuhnya. Entah karena posisi tumbuh gigi yang horisontal sehingga menabrak gigi di sebelahnya, entah karena enggak cukup tempat sehingga gigi tenggelam.
Setahun yang lalu, aku merasakan sakit gigi luar biasa sampai kesulitan untuk membuka mulut. Rahang seperti terkunci di ujung. Padahal enggak ada bengkak, enggak ada infeksi. Kalau mulut mangap, bakal ada bunyi gemeretak di ujung rahang. Krak-krak. Nyerinya sampai kekepala dan telinga, aku bawa ke dokter dikasih obat pereda nyeri. Tiga harikonsumsi obat, perlahan membaik dan aku yakin aku baik-baik saja karena struktur gigi tumbuh lurus ke atas.
Aku pikir, ini hanya sakit karena gigi bungsu mulai tumbuh dan drama-nya sudah selesai.
Ternyata belum.
Leher Kaku tanpa Sebab, Waspada Impaksi
Saat pulang kampung Desember lalu, aku merasakan leher kaku parah. Teyeng, kalo orang Jawa bilang. Aku masih positive thinking kalau leher kaku mungkin adalah efek detoks karena aku baru memulai food combining. Seminggu lebih tidak kunjung membaik, aku pun penasaran karena reaksi detoks biasanya enggak lebih dari seminggu. Masa kolestrol? Aku terus bertanya-tanya, masa sudah menerapkan pola makan sehat food combing, aku malahterkena kolestrol?
Januari 2019, saat pulang ke Salatiga aku langsung cek darah dilaborat dan dinyatakankalau kolestrolku aman, begitu juga dengan asam urat dan lainnya, hanya gula darahnya yang di bawah normal. Lega?Pasti, tetapi kelegaan enggak berlangsung lama karena leher kaku kembali menyapa meskipun enggak separah Desember 2018.
Browsing-browsingterkait leher kaku, er… malah ketemu diagnosis horor yang bikin aku kayak terserang anxiety. Hahaha. Akhirnya stop browsing dan menjaga pola makan sehat, tetapi tetep, leher kaku masih menyapa dengan sejuta tanya yang kupendam, cek darah menunjukkan semuanya baik-baik saja, lha terus ini leher kaku kenapa?
Infeksi Gusi dan Misteri Impaksi yang Terkuak
Agustus 2019, sepulang dari plesiran di Jogja, aku mengalami infeksi gusi terparah yang membuatku ndremimil nyebut sepanjang hari,nangis kebingungan semalam suntuk. Nyerinya enggak ketulungan, sampai kepala, telinga dan tulang belakang. Gusi kiri paling ujung bengkak parah, sampai ada gusi tumbuh ke arah geraham samping.
Jika tahun 2018 aku masih bisa mengunyah, sakit gigi Agustus 2019 ini membuatku enggak bisa mengunyah karena ada gusi tumbuh ke atas, lalu menyamping di gigi geraham yang bisa kegigit kalau aku mingkem. Mingkem aja kegigit dan sakit, apalagi kalau mengunyah, double sakitnya.
Aku sudah berusaha menyuplai dengan vit c dari jus nanas, jus apel dan madu, juga jus wortel murni agar gusi bengkak segera usai, namun ternyata enggak membantu. Karena enggak tahan dengan nyerinya, abah K mengajakku ke klinik Nadira, Tirtoagung. Drg Ryan menyuruhku untuk photo Panoramic di Lab IBL. Beliau menduga jika penyebab infeksi yang lumayan parah ini adalah impaksi gigi bungsu. Aku membawa sejumlah resep untuk radang, anti nyeri dan antibiotik untuk 5 hari ke depan, dan kembali lagi ke klinik untuk dibacakan hasil Panoramicnya dan rekomendasi tindakan selanjutnya. Antibiotiknya harus habis.
Pekan selanjutnya,aku pulang ke Salatiga karena enggak sabar sakit gigi tidak kunjung udahan dan obat anti nyerinya sudah habis. Aupun ke dokter gigi di Klinik Sehat, faskes tingkat 1 BPJS yang kupakai. Baru 5 menit di ruangan, dokter Tuti langsung mengultimatum untuk bedah mulut dengan bius total, mencabut 4 gigi geraham bungsuku.
Aku shock, lha wong gigi bungsuku lurus-lurus saja. Aku pulang dengan membawa surat rujukan ke spesialis bedah mulut RSUD Salatiga. Pagi harinya, ditemani abah K aku menuju ke spesialis bedah mulut, eee, belumada satu menit duduk, si Ibu langsung mengultimatum bedah mulut dengan bius total minggu depan. Shock? Banget.
Aku meminta abah K untuk balik ke Semarang, bertemu dengan drg Ryan untuk meminta second opinion. Drg Ryanternyata juga sependapat dengandua dokter sebelumnya, lebih baik dicabut daripada menimbulkan efek samping lain karena gigi bungsu sangat dekat dengan syaraf-syaraf lain. Aku bertanya bagaimana kalau enggak dicabut, drg Ryan menjawab dengan ramah, “Nanti Mbak sakit seperti kemarin, berulang-ulang, itu obatnya hanya satu, cabut.”
Drg Ryan sempat menjelaskan jika gigiku memang tumbuh lurus ke atas, namun tidak ada ruang sehingga tidak bisa tumbuh sempurna dan tenggelam di dalam gusi. Sepulang dari Klinik Nadira tempat drg Ryan praktik, aku mantab mengambil tindakan operasi bedah mulut dan mempersiapkan asupan pra operasi. Pernak-pernik operasi gigi dengan bius total, bakal aku ceritakan di next blogpost, ya. Emak K mau domestikan dulu. Heuheuu