Nggak dengar? Dasar kuping bocor!
-Sesebapak-
Rasa-rasanya, bullying akrab dalam kehidupanku. Diantara berbagai macam bullying, bullying verbal sangat mendominasi. Jika bullying fisik rerata bisa disembuhkan dengan medis, bullying verbal membutuhkan waktu yang tidak cepat untuk menyembuhkan diri.
Perjalanan Mencari Cara Balas Dendam
Setiap kali ada yang membuatku patah hati. Eh, maksudku, down karena perkataan yang menyakitkan tentang kelambatanku menerima informasi suara, spontan terbayang bagaimana cara membalas perkataan mereka, membuat mereka kapok karena pernah menjadikan ketidak dengaranku sebagai objek bullying.
Aku berulang kali ‘dikerjain’, mereka sengaja memanggil-manggil namaku, hanya untuk sekedar mencari bahan tertawaan.
Sembari menahan perih, otakku menari-nari, bagaimana cara membuat orang-orang itu kapok dan tidak mengulangi keisengan yang menyakitkan ini? Setidaknya, jangan sampai keisengan ini berulang-ulang ke anak keturunanya, its so sick!
Contents
Mendoakan Ia/ Anak Keturunannya Mengalami Hal yang Sama
Hahahaha, please, jangan kautertawakan. Otak masa kecilku, entah kenapa, tersetting otomatis untuk mendoakan semacam begitu mereka menyakitiku. Jangan tanya bagaimana kesungguhannya, aku berdoa sepenuh hati, dengan air mata yang menetes membasahi pipi dan sajadah. So what, mereka layak menderita agar tak macam-macam lagi, pikirku.
“Widiiii, Widiiii!” panggil seseorang, aku mendengarnya setelah dia menaikkan pitch suaranya, entah berapa kali.
“Ya?” aku menoleh, menjawab dengan mata terfokus ke sesembak itu.
“Oh, nggak. Cuma manggil. Hahaha”
Lalu, satu ruangan tertawa terbahak.
Pikirku, apa yang lucu, ha?
Seiring meluasnya pergaulan dan perkembangan pola pikir, aku mulai menyadari jika ada yang salah dengan doaku. Apakah ada keuntungannya ketika orang lain menderita?
TIDAK.
Sama sekali tak ada keuntungannya bagiku ketika orang lain menderita. Justru aku didera perasaan bersalah ketika mendapati orang yang pernah kudoakan jelek itu menderita, meski dengan bentuk penderitaan yang lain.
‘Memaksa’ Diri Sendiri untuk Bisa Mendengar dan Berbicara dengan Alat Bantu Dengar
Motivasi utamaku membeli Alat Bantu Dengar hanyalah agar… aku bisa pamer kepada sesiapa yang kerap menjadikanku objek keisengan. Sepertinya keren ketika aku bisa menjawab dan berbicara lantang di depan mereka tanpa kesulitan. Sepertinya W-O-W ketika aku bisa menguping rasan-rasan dengan menyetel Alat Bantu Dengar, sehingga suara orang rasan-rasan itu terdengar sampai telinga.
Lagi-lagi aku merasa Robbuna tengah Mengajakku Bercanda. Baru seminggu aku memakai alat bantu dengar, tubuhku langsung tumbang hingga dokter menyarankan agar tidak memakai Alat Bantu Dengar jika tidak penting, telingaku sensitif terhadap suara yang masuk. Apalagi telinga adalah pusat keseimbangan tubuh.
Aku putus asa. Maksud yang Disembunyikan Robbuna apa coba? Telingaku memiliki ambang batas pendengaran yang terbilang berat, tetapi sekaligus sangat sensitif terhadap suara yang masuk.
Aku memutuskan untuk stop memakai Alat Bantu Dengar. Sebuah proses yang panjang untuk bisa menerima. Alat Bantu Dengar nggak murah, lalu kumusiumkan begitu saja. Bahkan ia kusimpan di locker terkunci, aku nggak mau melihat dia lagi. And… yes, nyinyiers always come, tanpa bertanya apapun, tanpa mencari tahu kenapa, ada sebagian orang yang men-judge aku tak mau berikhtiar dengan Alat Bantu Dengar. Beh! WTF.. Hahahaha.
Menjadi Seseorang yang Membuat Orang Lain Kagum
Membuat orang lain yang pernah meremehkan dan membully malu karena orang yang dulu diremehkan ternyata jauh lebih sukses, terdengar sangat keren, kan? Aku ingin membuat mereka merasakan hal itu. Ingin membusungkan dada di hadapan mereka, ini lho, yang dulunya kau-bully dengan semena-mena.
Aku menargetkan beberapa hal yang sekiranya membuat mereka, orang-orang yang hobi bully, malu. Satu diantaranya adalah, menjadi wanita karir dengan penampilan cemerlang. Damn it, seiring waktu justru cita-cita ini bertentangan dengan hati kecilku. Hahaha, aku stress berat ketika apa yang kutargetkan tidak sesuai dengan harapan.
Aku sadar jika aku keliru. Lagi pula, apa untungnya untukku? Iya kalau mereka berubah haluan menjadi kagum, kalau lempeng-lempeng saja? Huhuhu.
Menjadi Diri Sendiri dan Blogging sebagai Afirmasi dan Sarana Berbagi
Melewati berbagai pengalaman, aku menyadari jika selama ini mindsetku keliru. Aku memurtuskan untuk menjadi diri sendiri, dengan segala ke-deaf-anku, anehnya cara berbicaraku, lambatnya proses pemahamanku terhadap informasi suara, dan juga lirikan-lirikan keheranan dari orang-orang di sekitar.
Aku menulis apa yang kurasakan, agar orang-orang di luar sana semakin terbuka dan berhenti untuk mem-bully kawan senasib-seperjuangan.
Aku hanya memikirkan dua hal sederhana, bagaimana mensyukuri aku dengan segala yang kupunya dan berbagi melalui blogging. Aku menulis apa yang kurasakan, agar orang-orang di luar sana semakin terbuka dan berhenti untuk mem-bully kawan senasib-seperjuangan.
Meski masih harus menghadapi berbagai macam sterotype negatif terkait deaf, tetapi hati dan otakku jauh lebih ringan. Meski masih berulang kali tumbang dan harus menata hati kembali, tetapi waktu untuk meratapi diri jauh lebih berkurang.