Aku ingin menulis tentang mereka yang tidak banyak bicara tentang definisi rumah tangga ideal, tidak banyak menuntut kriteria suami atau istri idaman. Makhluk yang ekspresi cintanya menyatu dalam setiap inci gerak tubuhnya. Makhluk yang memilih setia, apapun yang terjadi dengan rumah tangganya.
Suaminya berulangkali pergi tanpa pamit, minggat, orang desa bilang. Bukan sehari-dua hari, tetapi sampai tiga bulan lamanya. Ia membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Mencari rupiah dengan berkeliling dari rumah ke rumah untuk membeli hasil tani, kemudian dijual lagi di pasar desa. Menggendong berkarung-karung jahe, cabe, jagung dengan selendang lusuhnya.
Kadangkala, anak bungsu yang saat itu masih kecil ia ajak serta, digendong di depan. Ya, perempuan bertubuh mungil itu menggendong karung dagangan di belakang dan anak di depan, dua puluhan tahun ia menjalani kehidupan seperti ini.
Saat suaminya minggat dari rumah, si bungsu rewel sepanjang hari mencari sang Bapak. Tak jarang si bungsu mendadak sakit setiap kali sang bapak tidak berada di rumah, atas dasar inilah ia memberanikan diri untuk mencari suaminya di rumah-rumah teman sang suami. Ia bebat rasa malunya, ia redam amarahnya, demi anak bungsu yang merindu sang bapak.
Tidak sedikit yang mengolok-olok suaminya, bahkan orang-orang begitu tega mengolok-olok di hadapan umum saat anak sulungnya menikah, hingga membuat si bungsu muntab tidak terima. Kepada anak-anaknya, ia menanamkan keyakinan bahwa semua akan indah pada waktunya.
Kini, di usianya yang menjelang senja, saat anaknya sudah sibuk dengan tanggungjawab di keluarga masing-masing, sang suamilah yang setia menemaninya kemanapun. Menjadi imam setiap waktu sholat datang, ke pasar pagi setiap shubuh untuk berbelanja keperluan warung makan, mencari rumput untuk belasan kambing kesayangan yang menjadi tabungan biaya haji berdua. Doa dan kesetiannya selama puluhan tahun Dijawab Robbuna, semakin menua, semakin bertambah pula cinta diantara mereka berdua.
Dari mereka aku belajar, bahwa menikah bukan perkara mencari pasangan yang baik, tetapi bersama-sama menjadi lebih baik, meskipun kecepatan untuk menjadi baik berbeda-beda.
***
Tahun pernikahannya menginjak tahun kesepuluh. Belum ada anak di keluarga kecil mereka. Sudah banyakcara yang ditempuh untuk program kehamilan, Robbuna belum juga Menitipkan anak kepada mereka. Lelaki itu tetap saja memilih setia dengan istrinya, meskipun di kanan kiri tidak sedikit orang-orang yang membicarakan mereka berdua.
Pasangan itu memilih untuk menyayangi anak-anak kecil di sekitarnya saat rindu akan keberadaan anak menghentak. Fokus memperbaiki ibadah dan sangat rajin menuntut ilmu kesana-kemari, berdua–hal yang lumayan sulit untukku, kami hanya ngaji ke nDalem yai bertiga paling tidak sebulan sekali–. Mengabaikan omongan orang,bekerja keras mencari nafkah demi sebuah cita-cita: menunaikan haji sebelum usia senja menyapa.
Kadangkala aku ingin misuh kepada sesiapa yang cerewet banget bertanya, kapan punya anak kepada pasangan yang belum diberikan anak.
***
Dua cerita singkat nyaris limaratus kata. Hahaha, aku melow saat menulis ini. Mnecubitku yang tengah disayang-sayang Robbuna dengan ujian yang tidak seberapa. Abah K setia disisi, tidak pernah meninggalkanku tanpa urusan yang penting. Ada si K yang menemani, di luar sana begitu banyak yang berikhtiar untuk mendapatkan seorang anak.
Lain kali aku akan melanjutkan lagi, tentang mereka yang memilih setia, meski kerikil, bahkan batu tajam menghujam rumah tangga. Salamku untuk kalian, yang memilih setia, entah apa alasannya. Semoga, Sakinnah dan MAwaddah senantiasa, dengan kasih sayang yang tumpah ruah dalam keluarga.
Ika Puspitasari
Pemikiran orang-orang jaman old memang beda dengan orang-orang jaman now.