Tidak apa-apakah mengajari anak balita berhitung?
Pertanyaan satu ini berulangkali mampir, sayangnya, aku belum mempunyai blogpost untuk menjawabnya. HAHAHA. Dasar blogger, nanya sedikit disodorin blogspot. Yaa, mengetik penjelasan kan butuh waktu, Cynnn. Wkwkwk
Sebenarnya larangan belajar calistung untuk anak usia PAUD dan TK TIDAK BERLAKU SECARA MUTLAK. Larangan belajar calistung untuk anak PAUD dan TK berangkat dari keprihatinan pemerhati pendidikan akan maraknya les calistung untuk anak kicik-kicik itu tanpa memperhatikan kemampuan dasar yang mereka kuasai.
Ibaratnya, kita belajar pembagian tetapi belum menguasai konsep perkalian, ya konslet, dong. Apalagi jika anak kicik dipaksa untuk belajar menulis, membaca dan berhitung sampai membabi buta hingga merampas waktu mereka untuk bermain, hmmm, siap-siap saja anak bakal menjadi anak penghafal yang tidak memahami konsep.
Maka, emak-emak harus mengamati sendiri kesiapan anak, apakah anak sudah siap belajar calistung atau belum. Kali ini emak K fokus di kemampuan pra berhitung, ya, untuk kemampuan pra menulis dan pra membaca, insyaAllah akan dibahas kelak–entah kapan, tergantung mood emak. Wkwkwkwk.
Mengklasifikasikan Bentuk dan Warna Dasar
Klasifikasi atau pengelompokan ini bisa dilakukan sembari bermain. Mengenalkannya pun harus bertahap.
- Gunakan puzle lingkaran, segitiga dan persegi. Bisa kok membuat DIy-nya, emak K dulu membuat dengan menggunakan kardus bekas.
- Buat beberapa bentuk lingkaran, segitiga dan persegi. Aku biasanya menggunakan tiga mangkuk yang kuletakkan di ujung, dan meminta si K menaruh masing-masing bentuk sesuai dengan bentuk yang kutempel pada mangkuk. Cara ini cukup efektif karena si K adalah tipikal kinestetik yang usil lari-larian melulu, enggak betah duduk. Errr, mbulet enggak? HAHAHA.
- Setelah anak menguasai klasifikasi bentuk dasar, kita bisa menambah bentuk lain dengan menggabungkan klasifikasi warna. Emak K sempat membuat freebie, bisa di download di bawah ya. Tinggal diprint lalu digunting.
Freebie Pre-math Batita, Mengenal Bentuk dan Warna
Si K saat tulisan ini dibuat baru sampai di klasifikasi bentuk, namun masih bingung jika bentuk dan warna digabung bersama HAHAHA.
Memahami dan Mempraktikkan Klausa “Penuh dan Kosong”
Pernah melihat anak-anak antusias menuangkan pasir ke wadah, setelah penuh dituang lagi ke tanah. Begitu terus, sampai keringat gembrobyos dan mata ngantuk? Kegiatan yang nyaris tidak pernah dilewatkan oleh si K, apalagi jika disukung dengan pasir kinetik warna-warni, sampai lupa jam tidur siang.
Terlihat sangat sepele dan kurang kerjaan, ya. Apa coba fungsinya menuh-menuhi wadah untuk dikosongkan lagi? HAHAHA.
Saat membaca kembali literatur pre-math untuk usia toddlers, aku menemukan kenyataan yang membuatku semakin semangat mengajak si K berbecek-becek ria nuang-buang pasir dengan wadah: kegiatan ini adalah sarana untuk melatih pemaham klausa penuh dan kosong, yang merupakan hal paling dasar sebelum anak diajarkan berhitung.
Ingatanku semakin bercabang-cabang, mengumpulkan kenangan proses si K dalam bermain pasir. Usia 1.5 tahun, pegangan sendok si K semakin kokoh, tetapi ia belum memahami seutuhnya paham konsep penuh dan kosong. Pasir yang berada di wadah belum penuh, sudah ditumpahkan kembali ke tanah. Bentuknya kocar-kacir.
Sekarang, menginjak 26 bulan, si K menumpahkan kembali pasir yang berada di dalam wadah setelah penuh, sehingga saat dituangkan ke tanah bentuknya mengikuti bentuk wadah. Begini amat ya belajar jadi Ibu, hal sesepele itu bisa membuat hati menghangat. 🙂
Kita bisa menggunakan aneka media yang ada di sekitar untuk mengenalkan klausa penuh dan kosong, dengan kegiatan sekreatif mungkin. Gunakan botol plastik bekas, sekalian belajar membuat kue-kuean. Bisa juga dengan menggunakan mobil-mobilan, mengisinya dengan pasir sampai penuh, mengangkut ke sebuah tempat, menumpahkannya hingga kosong.
Mainan terbaik untuk anak adalah mainan dengan bahan yang mudah didapat dari sekitar dan cara yang praktis.
Tertarik dengan Pattern
“Ibuk! (j)alan pesawat, ngueeenggg!” seru si K, sambil memamerkan hasil goresan di papan hitam Crayola Chalk.
“Kepin gambar lingkaran!” serunya lagi, memamerkan lingkaran yang lebih mirip benang ruwet.
Aku hanya mengangguk-angguk. Si K kini mempunyai ketertarikan pada aneka garis.
“Ibu, sirip ikan!” Abah K yang sedang tiduran disamping tertawa, siripnya doang, ikannya enggak ada. WKwkwkwk
Ya, pertanda apakah anak sudah siap diajak berhitung bisa dilihat dari ketertarikannya pada garis dan bentuk. Jika anak belum tertarik, akan sulit untuk membedakan lekukan-lekukan garis pada angka.
Emak K biasanya menggunakan metode cerita untuk pengenalan pattern ini. Lebih suka menggunakan krayon karena mudah dihapus sehingga bebas corat-coret dimana saja. “Ada pesawat, mau terbang ke Surabaya. Jalan lurus, ngueeengggg…” sambil menorehkan garis lurus.
“Kemarin, Kevin jatuh ya waktu naik sepeda? Itu sih karena Kevin naik sepedanya sembarangan, grusak-grusuk, terus nabrak batu, duk! jatuh, deh. ” ujarku, sambil menorehkan garis tidak beraturan.
So, Mak, apakah anak-anak sudah siap diajari berhitung? Emak atau ayah sendirilah yang bisa menilai. Aku BIG NO NO memaksa anak les baca tulis hitung, tetapi sangat mendukung belajar sesuai dengan kemampuan dan kesenangan anak.
Salam!
Emak K, professional Deaf Blogger Wannabe