Ketika Tuhan menutup satu pintu, rasanya hari-hari berjalan di tengah kabut. Gelisah. Meraba-raba. Bertanya-tanya dimana gerangan pintu lain yang akan terbuka. Memanggil-manggil nama-Nya, Memohon pertolongan-Nya.
Shock. Bertanya-tanya, ada apa? Jauh di lubuk hati, terbesit sebuah tanya kecil; apa salahku? Apa dosaku? Sebuah tanya yang cukup mengganggu. Rasanya, apakah kebaikan-kebaikan yang kulakukan kurang? Atau… adakah yang salah dan Tuhan lalu Menutup pintu itu untukku?
Aku mereka-reka. Membuka satu persatu selubung diri. Menengok kembali kedalaman hati yang telah lama kubiarkan hampa. Menyusup rasa takut ke dalam hati. Takut jika Tuhan Murka lalu menutup pintu yang mungkin membuatku terlena karena nyaman.
Oh, rasa takut jika tidak ada pintu lain lagi ternyata menghantui hari-hari. Prediksi ketakutan tahun depan rasanya membuat hati ini kembali berat untuk melangkah dan bergerak.
Untuk apa bergerak jika prediksinya sebegitu suram.
Aku terdiam. Membiarkan diri ini merenung dan menikmati rasa yang begitu muram. Sedih, takut, cemas, sekaligus pesimis. Kuhirup nafas dalam-dalam, kuhempaskan pelan. Kubiarkan diri ini larut dan hanyut kepada-Nya.
***
Seketika itu aku sadar, mungkin tertutupnya satu pintu adalah cara-Nya, agar hamba-Nya kembali Mendekat. Dipeluk hangat. Aku menjauh dari gempita media sosial sejenak. Membiarkan diriku tidak mengetahui berita-berita terbaru.
Berdialog dengan-Nya, menceritakan kekhawatiranku kepada-Nya.
Tentang kebutuhan keluarga, tentang tagihan demi tagihan yang butuh dibayar, tentang invoice-invoice yang tak kunjung cair, tentang piutang yang tak kunjung dibayar dengan nominal yang tidak sedikit.
Dia yang Maha Menggerakkan hati, Dia pula yang Mengatur rejeki. Aku alpa. Merasa nyaman dengan pintu yang terbuka selama ini dan lupa berterimakasih kepada-Nya. Terimakasihku mungkin hanya terbatas pada lisan. Ia yang Maha menutup satu pintu, pintu yang baru kusadari setelah ia tertutup.
“Gusti Allah sedang bercanda,” ujar abah K. Kami tertawa bersama, “Gusti Allah mungkin ingin kita mbuktiin komitmen untuk stop yang syubhat.”
Aku tertawa, tetapi diam-diam menghapus air mata. Tuhan memang punya seribu satu cara untuk Mengasihi Ummat-Nya. Aku menikmati dialog-dialog hati, seolah aku sedang berbincang dengan-Nya. Mengungkapkan segala keresahan yang hinggap.
Pelan-pelan, setelah membiarkan diri menikmati rasa khawatir, takut, pesimis, aku kembali menata hati dan pikiran. Menyusun kembali langkah meski pelan. Menebar jaring-jaring, menguatkan ikhtiar, memperbesar kepasrahan.
Tidak apa menikmati keputusasaan sejenak. Tidak apa merasakan kehampaan sejenak. Tidak apa menangis, untuk kemudian kembali memasrahkan segala sesuatu kepada sang Pemilik Hidup dan berikhtiar sekuat-kuatnya.