Dear, Mbak May.
Kita berada di bawah naungan almamater yang sama, tetapi pertemuan kita bisa dihitung dengan jari. Aku di kampus dua, dikau di kampus satu. Aku pun hanya mengenalmu sebatas dikau senior LDK, lalu perbincangan kita berlanjut di dunia maya.
Dear, Mbak May.
Selamat menjalani babak baru, babak dimana ada seorang laki-laki asing bergelar suami yang harus menjadi pertimbangan utama setelah Robbuna dan kanjeng Nabi ketika kita sebagai seorang istri ingin memutuskan sesuatu. Penantianmu panjang, kan? 🙂
Dear, Mbak May.
Semoga pernikahan ini penuh barakah, fid dunya wal akhirah.
Dengan suami yang senantiasa meraih tanganmu, menuntunmu pelan, membimbing dengan kasih sayang. Seperti Mbak yang saat itu menuntunku di saat yang lain abai. Padahal aku sudah berujar berulang kali kepada panitia jika aku tidak bisa mendengar aba-aba suara. Tetapi, barangkali begitu banyak urusan, hingga aku sedikit terlupakan.
Dengan kondisi mata yang tertutup, seseorang menuntunku, memberi aba-aba dengan sentuhan. Aku tidak tahu sama sekali, siapa gerangan yang menuntunku saat itu. Hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga Rabbuna membuka tabirnya suatu saat kelak.
Dan, beberapa bulan yang lalu kau baru mengaku. Heh, berapa tahun kemudian dikau baru mengaku kepadaku, Mbak? Kan, aku baru tahu kenapa obrolan kita begitu nyambung, ada sulur doaku jaman kapan dulu. :’)
Dan, ya, maafkan karena keadaan kami tidak memungkinkan untuk turut mengaminkan doa-doa selepas aqad. Salah satu waktu yang maqbul untuk berdoa, tanpa penghalang. Aku disini hanya mampu melangitkan doa-doa, untukmu dan suami.
Dear, Mbak May.
Selamat atas gelar baru bernama istri. Selamat datang di sekolah kehidupan bernama rumah tangga. Semoga dimampukan untuk menjadi surga dunia bagi suami, menjadi madrasah utama bagi (calon) putra-putri.
Dear, Mbak May.
Ayo kapan kita ketemu, biarlah para suami ngariung ngobrolin dunia programmer, dan kita ngerumpi bareng.