Jilbabku standar–halah, ini maksudnya gimana, toh. Hahahaha. Cenderung ke NU, itu pun karena lingkungan dan suami yang NU. Beliau menjaga tubuhnya benar-benar, dengan jilbab selutut dan cadar yang menutup muka, lengkap dengan kaos kaki yang tidak pernah alpa.
Aku mengenalnya tujuh tahun silam, masing-masing tahu perjalanan hidup yang dilalui, juga pemahaman yang dianut. Masing-masing menulis tentang apa yang diyakini di media sosial. Kadangkala kami berbeda pendapat, terutama di masalah-masalah yang menyangkut budaya asli Indonesia.Apatah lagi pilihan politik, kami berada di tempat yang bersebrangan.
Tetapi, meskipun perbedaan kami sangat banyak, kami memilih untuk menghargai perbedaan, dan tetap saling merangkul persaudaraan.
Berawal dari Facebook
Aku memanggilnya Kak Dinda, padahal namanya enggak ada Dinda-dindanya babar blass. Beliau kukenal tujuh-delapan tahun silam melalui facebook. Kala itu, aku baru lulus SMA dan mulai nge-galau soal kuliah dan pendengaran.
Beliau tinggal di Batam, aku di Salatiga. Usia kami terpaut belasan tahun–aku lupa tepatnya. Aku mengikuti kisah hijrahnya hingga memutuskan untuk memakai cadar, juga lika-liku kehidupannya. Kami beberapa kali berdiskusi tentang pemahaman kami yang agak berbeda, tetapi tidak pernah sekalipun kami berdebat dan memaksakan pendapat.
Pertemuan yang Serasa Mimpi Menjelma Nyata
Aku menetap di pulau Jawa, mendapatkan suami dari propinsi seberang, yang hanya dibatasi dengan sungai Bengawan Solo. Beliau tinggal di Batam, sebuah pulau di perbatasan Indonesia, dengan Singapura hanya dibatasi selat.
Seringkali kami bercanda tentang pertemuan, “Ya kan enggak ada yang enggak mungkin kalau Allah yang Berkehendak, kan?”
Jauh di lubuk hatiku, aku menyangsikan pernyataanku sendiri. Apa iya, jauh-jauh ke Jawa, hanya untuk ketemu aku saja? Ya kali, butuh jutaan untuk menuju kesini.
Perjalanan hidup kami berubah, dinamis. Komunikasi tetap terjalin, pasang-surut adalah hal yang biasa. Hingga Robbuna mempertemukan kak Dinda dengan seorang laki-laki asli Purwodadi yang sduah lama tinggal di Batam–yang kini menjadi suaminya.
Saat mengetahui jika calon suaminya berasal dari Purwodadi, aku gembira, pertemuan itu serasa di depan mata, “Hei, Purwodadi hanya beberapa jam dari Salatiga, bahkan lebih dekat ke Bojonegoro. Dimanapun, insyaAllah bisa ketemu.”
Rupanya, Robbuna masih menyimpan kejutan. Disaat aku menunggu kabar kapan ka Dinda pulang kampung ke Purwodadi, tetiba beliau mengabari jika adik iparnya akan menikah di Salatiga. MaasyaAllah… minggu kemarin kami ketemu, pelukan virtual itu menjelma nyata.
Rasanya, MaasyaAllah… Haru. Selama ini kami hanya merasakan ‘pertemuan’ melalui chat, paket-paket yang saling dikirim, kini kami saling berhadapan. Berpelukan lama. Sungguh, nyata dan maya, jika hati yang terpaut, tidak ada bedanya.
Ketika Perempuan Bercadar Bertemu dengan Hard of Hearing
Ketika akan bertemu dengan perempuan bercadar, rasanya dag dig dug jeder, bagaimana cara kami berbincang? Telepati? WKwkwk, emang emak K apaan bisa telepati segala. Aku membayangkan dua opsi, beliau mengetik di hape, dan aku menjawab dengan percakapan biasa– yang kubayangkan malah aneh, atau, beliau melepaskan cadarnya, dan kami berbincang di kamar hotel.
Saat aku tengah sibuk menyapa Naura–putri cantiknya yang bermata bulat–, tetiba kak Dinda melepas cadarnya dan beranya kepadaku, “Begini, Dek?”
Emak K girang! Rasanya, Allah Kariim, terimakasih sudah memaklumiku dan mengalah untuk melepas cadar ketika berbincang denganku. Kami berbincang lama, hingga abah K mengajak pulang karena ditelepon untuk segera datang ke pengajian.
Halo, kamu, kapan kamu bertemu denganku? Mewujudkan maya menjadi nyata? Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah Berkehendak, kan? 🙂