Aku harus mengakui jika dosen yang satu ini keren, sampai di kelas sepuluh menit lebih awal. Terbesit dibenakku untuk berlomba-lomba masuk kelas, nyatanya meski aku telah jalan cepat dari mushola sampai ruang B4 di lantai dua, aku masih saja kalah. Beliau telah tersenyum menunggu kami di depan pintu. Aku masuk ke kelas dengan nafas tersengalsengal. Bersiap menerima jejalan mata kuliah konsep dasar IPS setelah menengak air putih.
“Anda mau jadi wortel yang keras, telur yang lembut di dalam, atau bubuk kopi yang pahit dan hitam?” Pak Rasimin mengawali kuliah dengan membuka presentasi gambar ketiga benda tersebut.
Aku mengetuk-ketuk pena di mulut. Berfikir apa gerangan maksudnya, namun tak juga kutemukan benang merahnya. Wortel, telur, dan bubuk kopi. Apa hubungannya?
Slide presentasi berganti dengan gambar tiga buah tungku plus panci di atasnya.
Masukkan wortel, telur, dan bubuk kopi ke dalam masing-masing panci yang berisi air, tunggu sampai lima menit.
Aku berfikir lagi. Apa yang akan terjadi? Wortel akan melunak, telur akan mengeras isinya, dan kopi akan tetap bertahan bubuknya. Apa lagi ini, apa hubungannya dengan mata kuliah kali ini?
Aku mengamati pak Rasimin yang memilih berdiri di samping kiri. Sungguh, bagiku yang belum mampu
menerjemahkan suara, hal ini merepotkan. Aku harus bergantiganti membaca mulut pak Rasimin dan slide presentasi.
“Setelah lima menit, ayo kita lihat hasilnya…”
Aku mengamati presentasi lekat-lekat. Tebakanku tak salah. Ya, wortel itu akan melunak, telur akan mengeras, dan bubuk kopi akan membuat air menjadi beraroma nikmat tanpa harus menghilang.
Maka, pesan apakah yang hendak disampaikan? Hatiku berdentum penasaran, tak sabar menunggu pak Rasimin menekan tombol next pertanda ditampilkan slide berikutnya.
Wortel masuk dengan kondisi keras, keluar dengan kondisi yang lembek….
“Masuk dengan penuh semangat, motivasi luar biasa, namun keluar dengan kondisi yang letih, nggak ada semangat lagi.”
Ah, masa sih?
Masa aku suruh masuk dengan kondisi yang ngenes biar nggak kehabisan tenaga saat menempuh akhir perjalanan?
Hatiku berontak tak percaya. Aku menggigit bibir, lalu apa maksudnya ini? Apa masuk dengan penuh semangat itu dilarang? Tiba-tiba aku teringat bu Christin, guru fisika SMA, yang mengangkat permasalahan siswa dengan motivasi tinggi malah mendapatkan nilai dibawah rata-rata untuk tesisnya. “Telur, masuk dengan lemah lembut, sopan santun, jika perlu sampe nunduk-nunduk. Tetapi keluar dengan hati yang keras, nggak berperasaan.”
Hah? Keluar dengan hati yang keras, nggak berperasaan? Masak sih? Kok bisa?
Ah, tadi masuk dalam kondisi keras berakhir lunak. Masuk lunak, berakhir keras. Mana semuanya menjurus ke negatif lagi. Mana yang bener ini?
Lagi-lagi aku sudah adu argumen di dalam hati.
Menebak-nebak. Berfikir dalam.
“Kopi, masuk dalam kondisi keras dan keluar dalam kondisi keras pula. Membuat air memiliki aroma yang nikmat, namun dia tak mengijinkan dirinya untuk hilang begitu saja. Ia masih mejadi bubuk kopi.”
Pak Rasimin maju ke tengah kelas. Alhamdulillah, setidaknya aku tak perlu tolah-toleh lagi. “Ya, jadilah seperti kopi. Berpengaruh, bukan dipengaruhi. Memberi tanpa kehilangan identitas diri. Membuat air yang semula tak ada rasanya menjadi beraroma nikmat dan memikat….
“Air adalah masalah, kesulitan yang kita hadapi. Silahkan pilih sendiri, mau menjadi wortel, telur atau bubuk kopi.”
Astaghfirullahal’adzim, rupanya aku melupakan jika ada yang belum dibahas; bubuk kopi. Mengambil kesimpulan asal sebelum penjelasan itu berakhir. Untung penyakitku yang suka asal ceplos kali ini tengah bungkam.
Aku pun merenungkan tentang si telur yang masuk dalam kondisi lunak dan keluar dengan kondisi yang keras. Apakah ini gambaran orang-orang lemah yang ditindas, sehingga begitu keluar menjadi beringas untuk meluapkan dendam yang tak mampu lagi dipendam? Allahu, lindungi aku dari hal ini.
“Memberi. Bukan masalah seberapa besarnya apa yang kita beri ke lingkungan. Tetapi tentang membuat dunia kita menjadi serba indah… “
Ya Allah, inilah jawaban-Mu. Inilah cubitan dari-Mu.
Kemarin, ah, sebenarnya malu menceritakan disini. Kemarin adalah saat-saat aku tengah lelah hanya karena masalah telinga dan berimbas pada lemahnya semangat mendampingi adik-adik. Aku protes kepada Robbuna tentang adik-adik yang tak bisa diam, yang tak tahu jika aku susah payah menyimak di tengah celoteh riang mereka. Aku pun tengah bersungut-sungut sebab mereka diluar sana yang terus saja mengkritik, kenapa bukan mereka yang lebih sempurna saja yang mendampingi adik-adik?
Rupanya, hari ini Robbuna memberikan jawaban kepadaku dengan sangat indah. Di saat hatiku tengah jernih untuk mencerna. Aku teringat dengan impianku, tentang Rumah Pelangi. Robbuna, cara-Mu benar-benar indah. Melalui dosen yang keren, di tengah teman-teman yang tak kalah keren hatinya.