“Ayi, nek kowe pingin suk dewe tetep bareng ning suwarga, tak weruhi carane.” tutur abah K. Mak klakep, aku melongo. Curhatan panjangku tentang hal yang membuat jengkel belakangan ini, tetiba buyar hanya dengan satu kalimat pendek dari abah K.
Malam itu kami sedang refreshing keluar, sekedar menyegarkan pikiran. Si K tertidur di gendongan, kami mempunyai waktu panjang untuk berbincang sembari menikmati penyetan. Aku memanfaatkan untuk menceritakan segala hal, termasuk kerisauan hati karena ulah seseorang yang sangat menganggu hingga terbawa mimpi. Tetapi sungguh, tanggapan abah K membuatku terdiam lama.
“Kan, aku sudah bilang berulangkali, hatinya, yang paling penting itu bagaimana menjaga hatimu sendiri, kan, Yi?” beber abah K menggunakan bahasa Jawa, “Lah, mbah Yai Asrori juga dhawuh, asalnya itu dari hati. Kalau hati ayem, masalah segedhe apapun nggak akan bikin hidup nelangsa.”
Perbincangan kami melebar kemana-mana. Tetapi bermuara pada satu hal, hati yang masih saja jungkir-balik, padahal aku sudah diwanti-wanti yai sejak lama untuk merapalkan ‘mantra’ setiap saat, setiap ingat, minimal ba’da shalat, Allahumma Nawwir Qalby… Jika yai sudah mewanti-wanti sampai bertitah minimal ba’da sholat wajib, maka tergambar sudah betapa pentingnya urusan hati ini.
“Ya, Ayi nggak mau lah, Bah, kalau cuma di dunia. Tapi piye…” aku berfikir sejenak, “Yang jelas Ayi butuh waktu kan, ya. Buat menata hati lagi. Yang jelas, Ayi belum bisa mak bedunduk bersikap biasa saja.”
“Ya, setiap orang punya kemampuan sendiri-sendiri, Yi. Yang penting, kan, usaha dulu. ” pungkas abah K.
Sehidup Sesurga.
Cita-cita yang terlihat wah, siapa yang nggak mau. Gabungan romantis-magis-religius. Tetapi menjalaninya, haduh, Bang… Setiap ada sesuatu yang mengganjal hati, aku musti melihat kembali ke dalam diri, masihkah cita-cita sehidup sesurga itu terpatri?
Setiap malas muroja’ah, cita-cita satu ini kembali menggedor-gedor… Bahkan setiap terbit rasa jengkel ke abah K pun… Hmm, Lu bisa jengkel dengan suami, Dut? Ya kali, eike istri biasa-biasa saja yang bercita-cita jadi istri sehidup sesurga. Yang nggak mau dikalahkan oleh bidadari bermata jeli. :p
Sehidup Sesurga.
Yang berarti harus kembali menata ulang tujuan menikah, bukan sekedar agar lepas dari titel jomblo yang menakutkan bagi sebagian orang, bukan sekedar ingin pamer, ini lho suamiku tersayang.
Sehidup sesurga.
Yang berarti harus melihat kembali sejauh mana bisa memerankan diri sebagai istri yang menyejukkan hati suami, yang melayani dengan sepenuh cinta dan sayang, yang menjaga diri dengan sebaik-baiknya penjagaan.
Sehidup sesurga.
Yang berarti harus menata hati kembali, menata ulang misi bukan sekedar lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh lima tahun kedepan, tetapi bagaimana agar bisa dipertemukan kembali di Surga, yang berarti… menyadarkan diri jika urusan dunia ini merupakan pijakan untuk melangkah. Berhati-hati, agar tak salah langkah, tak terjerembab.
Sehidup Sesurga.
Yang berarti… Menyebut namanya dalam setiap senandung doa, karena doa istri kepada suami adalah satu diantara doa yang mustajab.
Sehidup sesurga.
Semoga, dengan anak-anak, saudara, sahabat… dan, kamu sesiapapun yang membaca. Sehidup sesurga, yang berarti harus menjaga ukhuwah semenjak di dunia yang fana.
Rani R Tyas
“karena doa istri kepada suami adalah satu diantara doa yang mustajab.”
Ah romantisnya kau Mbak Wid.. aku pun jadi ikutan merenung T_T
arinta adiningtyas
iya ya, mesti banyak-banyak doain suami, semoga selalu berada di jalan-Nya.. gimanapun istri kan tergantung suami. tapi gimana suami juga tergantung doa istri.
arinta adiningtyas
romantismenya Mba Widut dan abahe K ki, romantisme do’a judule..hihihi..