Oh, well! Memang manusia macam emak K ini harus mengalami sendiri agar enggak seenaknya nuding orang lain. Betapa semua Ibu selalu menyapih dengan cinta, bagaimanapun caranya.
Contents
Weaning With Love yang Gagal
Weaning With Love, salah satu cara menyapih yang konon minim trauma, dengan sepenuh cinta, ternyata susah diterapkan untuk si K. Aku sudah memulai sounding sejak si K umur 1.5 tahun, “Nang, Kevin sudah gedhe, sudah dua tahun, tidak mimik Ibu lagi, ya…”
Sounding juga kulakukan setiap malam saat si K tidur, “Besuk kalau sudah umur dua tahun, enggak mimik Ibu lagi, ya, enggak rewel, enggak pakai ngamuk.”
Hingga tiba titi mangsa si K berusia 2 tahun tepat, aku mulai melakukan beberapa hal:
- Nyetok susu UHT plain dan coklat
- Beli tempat minum dengan pengantar yang lumayan heroik, “Nang, ini wadah mimik putih, untuk anak yang enggak mimik Ibu lagi. Mau?” Si K menerima dengan mata berbinar-binar tempat minum bergambar Spiderman.
- Minta tolong abah untuk melakukan ritual tidur berdua, Emak menyepi sejenak.
- Nyetok aneka camilan, biar si K lupa tentang ASI.
Cukup banyak ya.
Hari pertama, si K masih meminta ASI setiap menjelang tidur.
Hari kedua, Ibu menggendong si K setiap jam tidur tiba, berhasil tidur tanpa minum ASI. Drama datang setiap si K nglilir malam, ia masih meminta ASI dan enggak mau diganti yang lain. Sebagaimana prinsip WWL yang tidak menawarkan juga tidak menolak ASI, aku masih memberikan ASI setiap si K meminta.
Dua bulan siklus seperti ini, si K selalu meminta ASI setiap nglilir di malam hari. Ibu dan Abah sudah bergantian memberikan pengertian, tetapi belum juga manjur. Bahkan puncaknya ia akan menangis tanpa sebab setiap dini hari tiba, dikasih ASI enggak mau, dikasih susu enggak mau, nangis gegulingan. EMAK LELAH.
Kebohongan yang Menjelma Nyata
Lelah dengan drama, emak K akhirnya menyerah, memutuskan untuk mengambil cara lain yang paling ringan; memberitahu si K jika PD Ibu sakit.
“Ini Ibu sakit, ya?” tanya si K setiap teringat ASI.
Emak K meringis, kebohongan yang sengaja kulakukan untuk menyapih si K. “Hehehe, Kevin mau mimik?”
Si K menggeleng, “(Mb)oten, mimik Ibu sakit.” Katanya dengan tersenyum. Bikin Ibu enggak tega, Duh, Gusti, maafkan Ibu ya, Nang.
Malam menjelang, kebohongan ini MENJELMA NYATA. Aku mengalami mastitis, demam tinggi, PD bengkak, menggigil. Sepanjang terjaga, aku beristighfar berulang-ulang. Rasa-rasa langsung dicubit oleh Robbuna atas kebohongan yang kusengaja, mana yang kubohongi anak sendiri. Astaghfirullah…
Dua hari demam, hari ketiga aku sudah segar. Selama aku sakit, si K ikut dengan abahnya, enggak mau diajak siapapun. Saat aku sudah sehat, Abah K kembali kerja. Menyadari Ibunya sudah menemani bermain, si K tetiba bertanya, “Ibu, Ibu (mb)oten sakit?”
Ibunya spechlessssss. Hoaaaaa. Setelah memastikan Ibu sudah tidak sakit, si K meminta ASI lagi.
Kapokmu kapan, Mak!
Minyak Kayu Putih Hingga Minyak Kapak
Stress karena bulan ketiga dari proses menyapih belum juga berhasil, hingga plan pendidikan si K kocar-kacir enggak karuan, aku mencoba mengolesi puting dan aerola dengan minyak kayu putih. Plis, jangan nuduh yang enggak-enggak, aslinya hatiku perih.
Malam menjelang tidur, aku mengolesi minyak kayu putih ke putting. Si K meminta ASI, menyadari jika ada yang berbeda.
“Pedes, Ibu. Mimik putih.”
Aku segera mengambil gelas berisi air putih, si K meminumnya lumayan banyak.
“Pedes, (m)inyak ya?” tanyanya, sambil mencari lap, kemudian mengelam PD Ibunya.
MaasyaAllah, batinku.
“(Mb)oten pedes, Ibu.” Katanya, polos.
Emaknya spechless untuk kesekian kalinya. Anak secerdas ini mau dibohongi dengan cara apalagi, Mak? HAHAHA
Begitu pun hari berikutnya saat aku mengoleskan minyak kapak, si K tetap selow mencari lap dan kembali nenen. Wkwkwkwk
Drama Dini Hari yang Melelahkan
Selama proses menyapih berjalan, setiap dini hari si K terbangun dan menangis tanpa sebab. Embuh piye karepe, digendong salah, dikasih ASI salah, dikasih susu UHT dilempar. Stressfull dan membuat hari-hari tidak produktif, rumah berantakan karena Ibu lelah begadang.
Nangisnya itu bukan nangis biasa, si K nggerung-nggerung enggak karuan, tenaganya luar biasa. Setiap digendong ia melawan, diusap air yang sudah dibacakan doa Abahnya pun enggak mempan—alias praduga diganggu makhluk astral terbantahkan.
For The Last, Menyapih dengan Suwuk
Setelah berdiskusi dengan abah K atas apa yang kami jalani nyaris tiga bulan. Menghadapi drama setiap dini hari sungguh melelahkan, apalagi kerap ditanya tetangga kanan-kiri yang terganggu dengan tangisan si K, kami memutuskan untuk sowan Yai sebagai ikhtiar paling poll.
“Nanti kalau yang ini enggak berhasil, biarlah si K memakai caranya sendiri.” Tutur abah K. Aku mengiyakan dan menyiapkan diri untuk kembali ng-ASI dan mendengarkan komentar miring tentang si K yang tidak kunjung disapih.
Sampai di nDalem yai, kami bercerita tentang apa yang kami hadapi tiga bulan terakhir, termasuk drama dini hari. Yai menanggapinya dengan santai,”Ya ngono kuwi, wong tuwane dikon tirakat.”
Aku tersenyum, tersindir karena jarang tirakat untuk anak. Oleh Yai, kami diajari doa untuk nyuwuk mandiri yang harus kami baca selama tiga hari sambil ditiupkan ke makanan yang akan dimakan oleh si K—yang paling bagus telur ayam kampung rebus, doanya aku lupa, akan kutanyakan abah K lain kali. Hahaha
Saat berpamitan pulang, si K didoakan oleh Yai dengan meniup ubun-ubunnya. Aku pulang ke rumah dengan harap-harap cemas sembari merapal doa, semoga si K tidak drama lagi malam ini.
Alhamdulillah, sungguh, malam itu rasanya syukur tak henti kupanjatkan karena si K tidur nyenyak, bangun sebentar cuma minta air putih, lalu kembali tidur lagi tanpa drama.
Sungguh, Nang, kamu mengajarkan kepada Ibu, bahwa setiap Ibu menyapih anaknya dengan sepenuh cinta, yang membedakan hanyalah caranya.