“Perempuan itu, kurang syukur.” ujar abah K, pada suatu malam, saat aku tengah menikmati rasanya hamil dengan kondisi badan yang harus istirahat sepanjang siang dan malam.
Aku mengeluh, merasa telah merepotkan banyak orang karena tidak bisa mengerjakan tugas yang biasa aku kerjakan. Ya, hamil si K kala itu terhitung hamil yang penuh drama, sampai-sampai tetangga menggunjingku sebagai ibu hamil yang manja dan malas.
“Hidupmu dijamin, matimu juga dijamin.” abah K melanjutkan, “Aku? Siapa yang menjamin laki-laki? Nggak ada.”
Aku terdiam lama.
“Hidupnya dijamin suami. Matinya dijamin surga oleh Gusti Allah. Mati saat berjuang kehamilan di jamin Syurga. Mati saat melahirkan dijamin Syurga. Yang Jamin Gusti…”
Mana pernah Gusti Mengingkari pernyatannya sendiri, batinku melanjutkan.
Ah, perempuan memang rumit. Sesuatu yang bernama syukur teramat langka bagi kami. Seolah kami harus menggali berulang kali, mencubit diri sendiri, menampar diri sendiri agar tak sering alpa tentang nikmat-nikmat yang bertebaran.
“Jika semua diniatkan ibadah, pasti ringan.” pungkasnya.
Aku terpekur, lama. Butuh waktu sekian hari untuk mencerna. Butuh waktu sepanjang hayat untuk belajar bersyukur tercipta sebagai perempuan dengan segala warna-warninya. Aku tahu abah K kala itu tengah berusaha agar aku tidak terlampau nelangsa karena kehamilan yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Sampai sekarang, aku masih saja belajar untuk bersyukur menjadi seorang Ibu, menjadi seorang istri, juga menjadi anak dan menantu. Kadang rasa lelah itu kerap menghampiri. Aku membuka-buka kembali catatanku, rasa syukur ini masih butuh untuk terus diperbaharui.