Setelah empat bulan merasakan punya dua anak, sekarang aku merasakan betapa menyebalkannya parental burn out. Ibu lelah butuh pijat dan istirahat, dua anak rewel, yang satu sakit, Abahnya menghadapi kerewelan kantor, yang praktis tidak memungkinkan kami untuk sekedar mengambil jeda.
What the hell this it.
Kerjaan rumah enggak ada yang beres. Jiwa malas gerak kayak mengikat tubuh kuat-kuat. Adiknya rewel minta gendong, kakaknya rewel karena sariawan dan laper. Adiknya minta nenen, kakaknya bikin puyeng karena doi laper tetapi mulut tidak bersahabat untuk makan.
Inhale, Exhale. Rasanya ingin menahan abah K di rumah barang sehari lagi, tetapi kerjaan kantor sudah tidak memungkinkan untuk ditunda. Kalau mikirin gawean rasanya udah…. Tetapi balik lagi, yang prioritas itu anak atau pekerjaan dan tugas?
Berdamai dengan Keadaan, Everything will Gonna be Okay
Aku mengasuh anak-anak dengan pikiran yang enggak karuan. Ragaku menggendong Hada, tanganku menyuapi si K, tetapi otakku berkelana kemana-mana; tugas, kerjaan, chat, to do list, juga keinginan untuk me time. Terbesit dalam hati, kenapa begini banget sih?
Sebanyak itu apa yang ingin kuselesaikan menari-nari di otak, tidak ada satu pun yang pada akhirnya kuselesaikan karena… karena saking mumet dan saking jenuhnya otak dan memilih menggunakan waktu ketika anak-anak tidur untuk rebahan, bahkan ikut tidur atau sekedar stalking medsos.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk berdamai dengan keadaan. Memaklumi si K yang rewel karena sakit tetapi bakal ngambek jika adiknya diajak oleh mamak, budhe atau yang lain. Si K sakit, butuh perhatian lebih, tetapi adiknya harus diasuh oleh ibunya sendiri.
Nang, andai Ibu punya tangan gurita.
Burn Out banget mendapati si K posesif dan manja dalam satu waktu. Iya kalo adiknya sedang santai, lha adiknya minta gendong mulu, di saat yang sama, masnya minta disuapin, diambilin minum, di…. di…. . :’) Burn out banget, sampai-sampai aku berfikir, kenapa semuanya rewel di saat yang sama?
Butuh jeda agak lama untuk berdamai dengan keadaan. Setelah Hada tidur dan si K nonton youtube, aku melipir sejenak membuka laptop untuk sekedar menulis di blog. Menulis untuk meluahkan rasa, tanpa standar, tanpa peraturan yang neko-neko, tanpa ambisi. Hanya menulis.
Mengakui Emosi Negatif, Anak tidak Membutuhkan Ibu yang Sempurna
Done is better than perfect, begitu pula seorang Ibu yang hadir adalah lebih baik daripada seorang ibu yang merasa gagal karena tidak sempurna.
Anak-anak tidak pernah menuntut seorang ibu yang sempurna. Sejauh ini, si K tidak pernah protes dengan keadaan Ibunya yang Tuli dan punya keterbatasan lain. Si K protes ketika ibu tidak mau menemaninya main. Aku sedang belajar untuk mengkomunikasikan rasa kepada anak-anak, sekalipun itu rasa dengan emosi negatif.
Saat menulis tulisan ini, aku pamit kepada si K, “Ibu sedang lelah, ingin menulis. Tolong jangan diganggu dulu. Satu jam.”
Pun, aku juga berusaha memahami si K ketika ia tidak mau ditemani Ibunya. Cukup sulit menerima ketika anak terus terang bilang, “Aku mau sendiri.” Kayak cinta yang ditolak.
Merefleksikan bagaimana kami saling belajar untuk memahami rasa, sekarang aku mulai menerima jika si K sedang manja-manjanya, sedang nempel-nempelnya dengan Ibu karena sedang tidak enak badan dan pekerjaan yang lain bisa dikerjakan kapan-kapan. (((kapan-kapan)))
Arinta Adiningtyas
Sabar, yaa… Coba deket, K biar diajak main sama Mas Aga…
lendyagasshi
MashaAllah~
Aku kok mewek baca iniiii….
Kak Wid aku pengen peluuuukkk… Wallahu, hanya Allah yang balas segala kelelahan seorang Ibu.
Hwaiiiting~