Bapak selalu mengadang-adang, “Cintailah musuhmu.”
Cintailah musuhmu?
Saat itu aku masih sekolah, sering di-bully, dan Bapak dengan teganya menyuruhku mencintai mereka yang membully. Bukannya membela putrinya, menantang pem-bully agar tidak lagi mem-bully. Bapak malah menyuruhku mencintai.
Konyol.
Sungguh, konyol sekali, pikirku.
Setiap kali aku marah kepada orang lain hingga dadaku menggemuruh. Bapak hanya menyuruhku berwudhu, shalat. Menenangkan hati. Memintaku memaafkan orang yang telah membuatku marah sebagai langkah paling dasar untuk mencintai.
Semakin kesini, aku semakin merasakan betapa pengaruh memaafkan orang yang telah membuat jengkel sangat besar, terutama untuk hatiku yang gampang terombang-ambing masalah.
Kebencian tidak akan menyelesaikan masalah, hanya membuat hati semakin berat bebannya.
Ya, kebencian hanya menyita waktu produktif. Waktu yang seharusnya dihabiskan untuk terus bergerak dan berbagi, habis untuk memikirkan orang yang dibenci. Jika kebencian sudah terlanjur dalam, apa-apa yang diperbuat oleh orang yang dibenci selalu salah di mata kita. Bukannya mengikuti jejak positif, kita malah sibuk nyinyir dan berprasangka.
Belum lagi jika kita menebarkan kebencian-kebencian itu kepada orang lain. Bawaannya menularkan emosi negatif kepada sesiapa yang ditemui.
Contents
Berdamai dengan Diri-Sendiri agar Tidak Terlalu Membenci
Ada beberapa cara yang kulakukan untuk berdamai dengan diri sendiri agar tidak terlalu membenci orang lain dan merugikan diri sendiri.
Berbincang dengan Diri Sendiri; Tidak Ada Manusia yang Sempurna
Setiap kali ada seseorang yang membuatku jengkel, aku sesegera mungkin menyepi sejenak. Berbincang dengan diri sendiri, menghubungkan nalar agar hati mampu menerima logika jika tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Wajar dia keliru. Wajar orang tersebut membuatku jengkel.
Beristighfar berulang-ulang, menyabar-nyabarkan hati sendiri; bahkan suatu saat mungkin aku juga membuat orang lain jengkel.
Bercerita kepada Orang yang Dipercaya
Jika cara yang pertama tidak berhasil, biasanya aku akan bercerita kepada orang yang kupercaya. Orang-orang pilihan yang biasanya berbalik mengingatkan diri yang banyak luputnya. Orang-orang yag menyiramkan air dingin ke kepala dengan membantuku untuk menemukan hikmah tersembunyi dari apa yang kualami.
Menyebut Namanya dalam Doa
Iya, menyebut namanya dalam doa, tentu saja dengan doa-doa yang baik. Tidak, ini bukan hal yang konyol, tetapi sungguh, mendoakan orang yang kita benci, perlahan mengikis rasa benci it dan membuat hati lebih enteng. Biasanya, aku membutuhkan waktu yang lama sembari menceritakan kepada Robbuna kenapa aku membencinya, lalu mendoakannya, juga tidak lupa mendoakan hatiku agar selalu dalam bimbingan-Nya.
Kalau bencinya sudah di level ubun-ubun, sementara si dia membuat perkara melulu, aku menyepi. Menghindar sejenak dari dia, sampai aku tidak lagi merasakan sakit hati saat menyebut namanya dalam doa. Waktunya pun beragam, ada yang sampai butuh hitungan tahun untuk tidak lagi membenci, saking tukang bikin onarnya orang ini. Hahaha.
Trust me, hidupku jauh lebih ringan ketika akutidak lagi menyimpan kebencian dalam hati. Apalagi setelah menikah, dimana aku digembleng oleh abah K untuk bersikap biasa-biasa saja, meskipun sekarang masih terseok-seok untuk tidak terlalu jengkel kepada oarnag lain manakala ia membuat ulah, tetapi tidak sehoror dulu yang bisa membuatku menangis bermalam-malam karena sakit hati.
Kalau kamu, apa yang kamu lakukan untuk berdamai dengan diri sendiri?