“Yi, komenmu itu centil, ya.” ujar abah K, di saat si K sudah tidur dan kami ada kesempatan untuk pillow talk.
“Ha?” aku kaget, serasa disambar geledek. Komenku centil?
“Yang mana? Waktu komenan sama siapa?”
“Banyak, kok. Enggak cuma satu.” ujar abah K, merinci dengan bahasa Jawa.
Aku terkesiap. What? Jadi, komentar-komentarku di akun teman laki-laki, bagi abah K dianggap sebagai komentar yang centil. Aku mencoba menggali lebih dalam lagi. “Emangnya, centil gimana, Bah?”
“Terlalu akrab,” pungkasnya.
Ya Salam! Aku lantas nyengir. Kaget karena tidak menyangka jika abah K memendam cemburu sekian lama~ Yaelaaa, istrinya enggak peka. Bhuahahah.
Membatasi Percakapan dengan Lawan Jenis
Di jaman serba canggih begini, tentu saja konteks batasan percakapan dengan lawan jenis untuk perempuan dalam islam juga semakin luas. Jika dulu yang dilarang adalah berbincang berdua dengan laki-laki saat suami tidak ada, maka sekarang juga masuk ke dalam berbincang secara privat di media sosial manapun.
“Yai, kalau inbox, sms itu bagaimana?” tanyaku, pada saat pembahasan kitab mar’atus-shalikhah sampai pada adab perempuan sebagai seorang istri. Di dalam kitab, dibahas jika seorang istri dilarang menemui tamu laki-laki tanpa didampingi oleh suami atau mahram yang lain, juga larangan terlalu akrab dengan laki-laki lain.
“Inbox itu piye?”
Aku kagok, lupa jika Yai tidak begitu tertarik dengan dunia maya. “Ehmm, begini, seperti sms, jadi yang tahu hanya yang menerima dan mengirim pesan saja, yang lain tidak tahu.”
“Enggak boleh itu, itu jadinya suami enggak tahu, kan? Sama saja dengan berbincang berdua, dilarang.” tegas Yai.
“Kalau penting gimana?”
“Sepenting apa? Ya mending lewat suami saja kalau memang penting banget.”
“Hehehe, inggih, Yai. Kalau komentar?”
“Komentar piye?”
“Jadi ngobrol dengan tulisan, tetapi orang lain masih bisa baca.”
“Oo, boleh, tetapi enggak boleh terlalu akrab.” Yai menjawab dengan mengambang, “Tetapi, ini juga tergantung dengan suaminya, kalau suaminya cemburu ya lebih baik enggak.”
Aku manggut-manggut, menyelami dhawuh yai dan bertekad untuk menerapkannya kelak kalau sudah menikah.
Ketika Aku sudah Menikah
Realita memang tidak selalu seindah ekspektasi, Dear. Hahahaha. Astaghfirullah, ngapunten, Gusti, nDalem salah, malah ngguyu awake dhewe. Ada masa dimana abah K males banget ngetak-ngetik dan memintaku yang menjawab chat. Ada masa dimana klien lebih nyaman menghubungiku karena abah K cenderung slow respon–ya iyalah, kalau sudah berhadapan dengan coding, beliau memang enggak bisa melirik ke lain hati.
Ada masa dimana aku sudah menghubungi istrinya untuk urusan bisnis, tetapi istrinya menyuruh menghubungi suaminya langsung melalui jalur pribadi dengan alasan dia enggak mudeng babar blass– yaela, Mak, apa susahnya jadi makelar~
Aku bertanya kepada abah K, “Enggak apa gitu, Bah?”
“Enggak, asal tahu batasan.”
TETAPI ternyata makin kesini bagi abah K aku sudah MELEWATI BATAS. Huks, ngapunten, Bah.
Orang-orang yang pernah berbincang denganku mungkin sudah tahu bagaimana gaya chat-ku. Aku cenderung welcome kalau di chat, tetap membatasi diri saat melalui jaringan pribadi, tetapi cenderung longgar saat berkomentar–karena aku merasa aman kalau berkomentar, dan merasa biasa-biasa saja–yang ternyata dianggap centil oleh abah K.
“Yi, aku nyaris enggak pernah berkomentar ke perempuan lain, kecuali perempuan itu Ayi kenal dan sudah akrab, itu pun komentar standar yang tidak neko-neko.” tutur abah K, “Karena aku mempertimbangkan perasaanmu kalau membaca komentarku itu ke perempuan yang lain”
PERASAAN
Aku terkesiap, hatiku mendadak hangat. Romantisnya abah K memang tersembunyi, keromantisan yang tidak kusadari dalam keseharian.
Menjaga perasaan pasangan jauh lebih wajib daripada menjalin silaturahim dengan lawan jenis.
Yai sangat tegas di bagian ini. Jika suami tidak berkenan kita bertemu dengan lawan jenis, LEBIH BAIK ENGGAK. Bahkan, ada satu dhawuh beliau yang dikutip dari kanjeng Nabi, “Jika bertemu dengan teman laki-laki di luar saat bersama dengan suami, jika teman itu tidak menyapa duluan, JANGAN DISAPA.”
Demi apa jika bukan demi menjaga perasaan suami?
Kejam, ya?
Suami yang baik enggak bakal mengekang, kok. Bisa saja kita membuat kesepakatan dengan suami untuk tetap menjalin silaturahim dengan teman-teman. Bareng-bareng bertandang, bareng-bareng bertemu. Menambah keluarga, menambah jaringan.
Berat jadi seorang istri?
Tenang, INI JUGA BERLAKU UNTUK SUAMI. Ya kali yang dibatasi cuma istri. Enak bener. Wkwkwk
Hikmah Dibalik Anjuran Membatasi Obrolan dengan Lawan Jenis
Awalnya ngobrol masalah pekerjaan, lama-lama curhat hingga masalah pasangan. Awalnya sekedar say hello, karena merasa aman, lanjut berbincang terus-menerus hingga masalah sesepele, “sudah makan belum?”
Kayak gini bisa menimbulkan perasaan, “Kenapa aku lebih nyaman chat dengan si dia daripada dengan suami sendiri?”
Apalagi jika suaminya tipikal abah K yang enggak doyan chat saat LDR, beh, tidak bisa dipungkiri jika godaan itu ada dimana-mana. Jaman semakin mudah, jebakan setan juga semakin banyak, ampun….
Lah gimana, seorang perempuan membutuhkan bercerita minimal 20k kata dalam sehari agar tetap waras. Kebetulan abah K adalah tipe orang yang semakin sering chat semakin kangen, jadi memilih untuk membatasi chat agar bisa fokus dengan pekerjaan. Jangankan chat, sekedar melihat video si K yang sedang bermain di media sosial saja membuatnya ingin pulang saat itu juga.
Perbedaan karakter ini nyata. Aku tidak bisa memaksa abah K untuk melayani chat-ku terus-menerus saat sedang LDR. Pun aku tidak bisa mengabaikan bagaimana caranya agar aku tetap waras, makanya, aku cerewet di grup-grup blogger perempuan. demi menjaga kewarasan Hahaha, peace, Gengs! 😀
Ya, membatasi obrolan dengan lawan jenis ini untuk mencegah kita merasakan, “Kenapa berbincang dengan dia lebih nyaman dibandingkan dengan suami sendiri.”
Agar tidak terjerumus ke perselingkuhan yang lebih jauh lagi. Agar Rumah Tangga yang dibangun dengan doa tetap sakinnah, mawaddah dan penuh kasih.
Sungguh, aku sudah banyak menyimak cerita tentang perselingkuhan yang berawal dari chat di dunia maya, dan semoga kita tidak pernah mengalaminya. Aku berdoa dengan sepenuh cinta. Kembali menata diri, menunaikan kesepakatan batasan mengobrol dengan lawan jenis yang sudah disepakati dengan abah K.
Malam itu menjadi salah satu malam yang mengharu-biru, tidak perlu lagi aku iri dengan definisi romantis yang bertebaran di dunia maya.
Salam!
Emak K, yang sedang belajar menjadi istri shalikhah