Site icon Widi Utami

Mengenal lebih Jauh Penyandang Tuli

Mengenal lebih Jauh Penyandang Tuli 1

Hello, my name is Widi, I am deaf and i am proud.

Butuh waktu dan perjalanan yang lumayan panjang untuk mencapai maqom ini. Hahahaha, maqom dimana aku tidak lagi merutuki diri kenapa aku menyandang deaf, kenapa orang lain Diberi pendengaran yang sempurna oleh Robbuna.

Masih dalah perjalanan untuk ‘menikmati’ kondisi deaf dan berhenti menyalahkan orang lain yang tidak ramah, fasilitas yang tidak memadai. Tentu saja, berhenti untuk menyalahkan pemerintah yang masih bertumbuh membenahi diri untuk melayani warganya yang istimewa.

Contents

Tunarungu atau Tuli?

“Lah, bukannya yang halus adalah tunarungu?” tanya seorag sahabat. Aku berulangkali mendapati pertanyaan ini, beberapa berakhir maklum, beberapa mentok dan tidak tercapai kesepakatan. Apalagi jika berbincang dengan sahabat dengan latar belakang akademisi garis keras, debat tiada akhir hanya karena mempermasalahkan pemakaian kata Tuli atau Tunarungu. Hahaha.

Ya, memang pemakaian kata ini debatable karena yang membuat kamus bukan penyandang Tuli, menerjemahkan sebuah kata sesuai dengan sudut pandang masing-masing. I see. Aku pun, dulu masih menggunakan Tunarungu setiap kali memperkenalkan diri karena menghormati mereka yang Dengar. Tetapi, semenjak grup whatsapp-ku dipenuhi tiga grup penyandang Tuli, aku merasa terpanggil untuk ikut kampanye penggunaan kata Tuli.

Sebenarnya, ini persoalan mindset. Kami lebih suka menggunakan kata Tuli karena bagi kami gangguan pendengaran bukanlah sesuatu yang ‘cacat’, sebagaimana tunawisma yang tidak punya rumah, tunaasmara yang jomblo bahagia–eh. Bagi kami, tunarungu menandakan tidak punya ‘pendengaran’, yang diterjemahkan sebagai tidak bisa mendengar sama sekali–yang entah bagaimana ceritanya, diterjemahkan oleh sebagian besar dari kami sebagai tidak punya potensi.

Bagi kami, Tuli adalah identitas yang harus dibanggakan. Lain halnya dengan Tunarungu yang membuat kami merasa minder, Tuli membuat kami merasa percaya diri.

 

Lalu, bagaimana dengan KBBI, tatanan penamaan termasuk penamaan SLB yang masih menggunakan Tunarungu? Kami masih berjuang untuk itu. Doakan kami, dan bantu kami untuk kampanye penggunaan kata Tuli. Sungguh sebuah perjuangan yang sangat panjang.

Klasifikasi Penyandang Tuli

Dut, katanya penyandang Tuli, tetapi kok elu masih bisa cuap-cuap bergembira layaknya orang Dengar?

Kalian, membatin kayak gini juga, enggak? Mhuahahaha. Aku sampai galau dan berusaha mati-matian mencari padanan kata yang pas untuk menggambarkan diriku, dan akhirnya ketemu HOH, Hard of Hearing, gangguan pendengaran yang masih mempunyai sisa pendengarannya.

Tetapi, daripada bengong, hayuk lah, kita mengenal klasifikasi penyandang Tuli lebih jauh lagi.

Tuli Ringan (Mild Hearing Impairment)

Ambang Batas Pendengarannya antara 20-40 dB. Masih bisa mendengarkan percakapan, tetapi sering tidak menyadari jika sedang diajak bicara.

Tuli Sedang (Moderate Hearing Impairment)

Ambang Batas Pendengarannya antara 41 dB-65 dB. Sangat kesulitan mendengar, harus face to face untuk memahami pembicaraan, sulit mendengar dari kejauhan dalam suasana gaduh, tetapi masih bisa dibantu dengan Alat Bantu Dengar.

Tuli Berat (Severe Hearing Impairment)

Ambang Batas Pendengarannya antara 66 dB-95 dB. Sedikit memahami pembicaraan dengan face to face, masih bisa melakukan percakapan normal. Beberapa referensi menyatakan jika tidak mungkin melakukan percakapan normal, tetapi aku yang ambang batasnya berada di tataran ini masih bisa melakukan percakapan normal, jadi kutulis masih mungkin melakukan percakapan normal. 😀

Tuli Parah (Profound Hearing Loss)

Ambang Batas Pendengarannya lebih dai 95 dB, atau lebih keras. Penyandang Tuli dengan kategori Profound Hearing Loss lebih banyak berbincang dengan menggunakan bahasa isyarat. Bisa diajak ngobrol oral, tetapi lumayan kesulitan.

 

Bingung, ya? Hahahaha, aku ada film pendek yang bisa menggambarkan dunia Tuli secara global. Film pendek karya suami mbakyu Dini, kakak kelas saat SMA, hahaha, kakak kelas selisih entah berapa generasi. Kemudian dijitak.

Refleksi Film Pendek tentang Penyandang Tuli

Film pendek berdurasi satu menit ini sudah dikirimkan kepadaku sejak dua bulan yang lalu saat peringatan Hari Tuli Internasinal, tetapi embuh kenapa, aku belum mendapatkan feel untuk menulis di blog karena ya… karena daku masih mewek jika menulis tentang dunia Tuli. Hiks.

Curahan Hati Penyandang Tuli

Film ini membawa pesan tentang apa yang ada di hati penyandang Tuli.

Kami tidak ingin dikasihani

Pesan yang membuatku mulai mewek, yes, i feel that. Aku tidak ingin dikasihani, tetapi juga tidak ingin disamaratakan. Hahahaha. Sebuah permintaan yang sukses membuat orang lain bingung. Dikasihani tersinggung, dibiarin, dikira tidak peduli. Wkakakaka. So sorry for that, Dear.

Antara Bahasa Isyarat dan Bahasa Oral

Dalam film pendek ini, sutradara menyisipkan dua cara komunikasi penyandang Tuli: Bahasa Isyarat dan Bahasa Oral. Aku bisa menggunakan keduanya, meskipun kurang lancar untuk berbahasa isyarat karena lingkungan keseharianku tidak ada yang berbahasa isyarat.

Harapan bagi Penyandang Tuli

Jika diperhatikan benar-benar, dalam film ini, ada seseorang yang cara berbicaranya lumayan lancar, nyaris sama dengan cara berbicara orang Dengar. Mbak Dini bercerita, jika anak tersebut operasi Implan Koklea (CI) saat masih kecil, sehingga stimulasi berbicara dan mendengarnya cukup maksimal.

Ya, semakin dini dilakukan pemeriksaan, semakin dini dilakukan tindakan, semakin besar harapan untuk memperbaiki apa yang tertinggal. Disinilah pentingnya Deteksi Dini Gangguan Perkembangan Anak Usia Dini. Nih filmnya, kusadur langsung dari Instagramnya mbak Dini. 🙂

 

Catatan Kecil Refleksi Film Pendek Hari Tuli Internasional

Secara menyeluruh, aku sungguh terharu karena film ini mampu mengenalkan ke masyarakat tantang keberadaan teman Tuli, mengenalkan bahasa isyarat dan juga bahasa oral ang dipakai oleh teman Tuli. Hanya satu yang kutandai, film pendek ini merupakan film verbal, errr, gimana ya istilah yang pas? Begini maksudku, saat teman Tuli berkata, “Kami tidak ingin dikasihani… Kami ingin dimengerti.” dalam perspektif masyarakat umum, dimengerti seperti apa? Bagaimana sikap yang jauh dari kesan mengasihani?

So, next, aku berharap ada film–syukur-syukur film panjang :P– yang menjawab pertanyaan tersebut, kupikir, dengan menyajikan kisah orang-orang yang membantu teman Tuli tanpa terkesan mengasihani, orang-orang yang berjuang memantu teman Tuli agar bisa mandiri, bagaimana perjuangan mereka dalam keseharian, akan jauh lebih menyentuh penonton dan aku berharap bisa direfleksikan dalam keseharian.

Heuheuuuu, WiDut mah bisanya ngomong a b c d-z. Hahaha, aji mumpung ada istrinya pak Sutradara, siapa tahu direalisikan beneran. Minta dicipok mbak Dini. :p

 

Mini Giveaway Alert!

Hello, Guys! Dalam rangka meramaikan hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember kemarin, Emak K mau bikin mini giveaway untuk seseruan. Ada 1 orang yang dipilih untuk mendapatkan paket cetak foto senilai Rp.125.000,00 di Idphotobook, buat cetak foto kamu seekslusif majalah. Caranya gampang saja, jawab pertanyaan berikut ini di kolom komentar:

  1. Siapa nama orang yang paling memikat hatimu dalam film pendek tersebut?
  2. Menurutmu, bagaimana contoh nyata yang merefleksikan, “Membantu penyandang Tuli tanpa terkesan mengasihani?”

Tulis username IG-nya ya, jangan pakai identitas anonimous. Kindly follow Instagramnya emak K biar update pengumumannya entar yak. Ini nih penampakan calon hadiahnya. 🙂

Kutunggu partisipasinya sampai tanggal 8 Desember 2017 jam 23.59, yaaa. Iya, cuman 3 hari doang. Wkwkwk. InsyaAllah bakal diumumin tanggal 9 Desember 2017 di Instagram-nya Emak K dan media sosial lainnya.

Exit mobile version