“Tulisanku alay, apa bisa menulis?”
“Aku cuma bisa menulis alay, enggak layak tayang di blog.”
Tahukah kamu, tulisanku di tahun 2008, alaynya level parah. Aku saja malu setiap melihat di kenangan facebook, beberapa ada yang kuhapus saking malunya. Hahaha. Tetapi, agaknya aku harus memperlihatkan salah satunya. Bukan, bukan untuk mengungkit masa lalu, apalagi menggarami luka di masa llau, hanya sekedar, ini lho, kami yang sudah terbiasa menulis di blog juga pernah melewati masa-masa alay, bahkan mungkin kealayannya lebih parah.
Parah kan? Titiknya entah berapa, entah apa pula maksudnya. Seenak udel mengganti huruf, agar kelihatan centil mungkin? Hahaha. Malu sendiri jika membaca tulisan-tulisan pada rentang tahun ini. Ada juga status tentang mencari cinta. Belum namanya yang aduhai, Widy Im0edh, pakai angka nol, bukan huruf o. Sekarang bacanya aja kesleo. Allahu Robbi.
Sempat Dikiritik Lebih Layak jadi Bungkus Gereh
Aku lupa di tahun berapa mendapatkan kritikan ini. Gara-garanya waktu itu aku meminta tolong seseorang–aku lupa– untuk membaca cerita pendekku. Beliau berkomentar, “Tulisan ini lebih layak jadi bungkus gereh–ikan asin, red.”
Sakit?
Pasti. Namun, semakin kesini aku semakin menyadari jika tanpa kritikan beliau, aku tidak akan berusaha memperbaiki tulisan. Tahun 2009 itu aku didapuk jadi sekretaris SAKA Bhakti Husada, saat aku disuruh membuat brosur, kutulis dengan kata-kata alay. Hasilnya? Langsung ditolak mentah-mentah.
Hahaha, kalau ingat saat itu, aku maluuuu banget. Lagi-lagi, serentet peristiwa itu pada akhirnya membuatku bertekad untuk belajar menulis lebih baik lagi. Sekarang pun aku masih belajar, apalagi menulis genre sastra, entah sudah berapa puluh purnama aku enggak menulis cerita pendek atau puisi, padahal dulu aku paling demen menulis genre sastra.
Berbagai Kursus Kuikuti, Puluhan Buku Kulahap, ‘Menulis’ tetap Menjadi Kunci
Aku lupa sudah berapa kali ikut kursus menulis. Berkali-kali, dari yang bisa langsung ikut, sampai yang harus diseleksi. Puluhan buku, dari bukunya Jonny Ariadinata, Bambang Trim sampai Hernowo kulahap, sampai kucatat quote-nya di buku diari. Sekian usaha itu, enggak berpengaruh apa-apa jika enggak menulis.
Kuyakin sepenuh hati, kursus hingga jutaan pun enggak bakal berpengaruh jika kita tidak melakukan kuncinya: MENULIS. Kalau ada yang bertanya bagaimana tips agar bisa menulis, jawabanku pasti satu: menulis saja lah dulu. Tips-tips yang lain akan mengikuti seiring waktu. Heuheuu
Aku menyimpan rekam jejak bagaimana perubahan gaya menulisku dari waktu ke waktu. Dari yang ikut-ikutan trend sampai punya gaya seperti ini. Dari yang kaku ber’saya-saya’an sampai yang enjoy dengan ke’aku’an. Biarlah dikira egois tingkat dewa hanya karena kata ganti yang kugunakan, yang penting aku nyaman dan tidak seegois yang mereka sangka. Eh.
Dari Berburu Lomba Antologi, ‘Ditipu’ Penerbit, Hingga Menjadi Blogger
Tahun 2010 adalah masa-masa emas, masa-masa emas untuk menjadi seorang pemburu antologi. Ikut berbagai lomba menulis demi bisa memiliki buku meskipun cuma antologi. Saat sudah masuk menjadi salah satu kontributor, daku langsung woro-woro dengan hebohnya. Sungguh heboh dan memalukan. HAHAHA.
Tahun 2012, seseorang menghubungiku untuk membukukan tulisan-tulisan pendekku menjadi sebuah buku. Buku solo pertama tak pelak menjadi sesuatu yang membanggakan. Mahkota untuk Emak. Launching-nya dihadiri oleh kang Abik, sahabat-sahabat dan saudaraku rela mengganti jadwalnya demi menghadiri launching ini.
How lucky i am.
Rasa beruntung itu tidak bertahan lama, bukuku ternyata dibuat asal-asalan. Pre order terpaksa kubatalkan. Lha piye, halaman terpotong, cerita enggak utuh. Aku nangis dipelukan sahabatku. Merasa disepelekan. Merasa di… Hiks-hiks. Aku meminta penerbit untuk memperbaiki bukunya.
Buku diperbaiki. Aku menagih…. bayaran. Penerbitnya ngilang. Aku terluka. Males nulis. Mogok lagi. Cuma mentok nulis status facebook dan beberapa cerpen. Hingga akhirnya aku bertemu dengan abah K yang memperbaiki blog jadulku dengan tema ungu dan kupu. Kupu-kupu bertebaran di layar blog. Blink-blink bertaburan bintang. HAHAHAHA.
Lima bulan perkenalan dengan abah K, kami menikah. Aku menulis lagi, mengisi blog abah K yang saat itu masih bernama Geodik. Blog penuh kenangan dengan Adsense yang kami jual seharga 1.5 juta di kala kami kepepet enggak punya uang.
Mulai intens ngeblog lagi kala Long Distance Marriage, aku di Salatiga dengan perut semakin membesar, abah K di Pati demi sesuap nasi. Blog dan menulis menjadi teman setia, self healing, pengusir sepi, juga menumbuhkan optimisme. Semakin memantabkan diri untuk serius ngeblog kala bergabung dengan Blogger Perempuan dan komunitas blogger lainnya, membangun networking, mereguk cinta-Nya.
Panjangnya.
Hehehe, begitulah, enggak instan. Proses perjalanan menulisku yang terlihat mungkin baru 9 tahun, tetapi sebenarnya aku mulai dilatih menulis oleh guru SD, Bapak Margono, menulis surat kala itu. Menulis surat berisi curhatan atas rasa minderku karena berbeda dengan teman-teman di sekolah.
Sudah 700 kata, sudah tengah malam. Aku harus lekas istirahat agar semangat menjalani hari. Semoga selalu sehat dan semangat belajar tanpa mengenal sudah.
Salam!
Widi Utami, a deaf mommy