Site icon Widi Utami

Tjurhat Mak-mak Kampung(an)

Iki wis jaman akhir tenan, to?

Ndisik, Yai sering dhawuh, “Ibu-ibu, mulih ngaji, lagi sepuluh meter, pahalane wis ludhes…”

Ibu-ibu, pulang ngaji baru sepuluh meter, pahalanya sudah habis. “Lha ya, pulang ngaji lagsung ngrasani kanca-kancane.” ujar yai, disambut gelak tawa. Baru pulang ngaji sudah gosip sana-sini, di jalan, gerombolan. Aku meringis saat itu, duh, berat memang jadi Mak-mak.Kukira, ini adalah hal paling menyebalkan.

Teryata, Yai… Ini kah jaman yang dulu kauceritakan?

Jika ngerumpi sepulang ngaji saja sudah membuat pahala ludhes tak tersisa, lalu bagaimana dengan aib-aib yang tersebar di media sosial. Sudah nggak sembunyi-sembunyi, bisik-bisik seperi dulu, Yai. Tetapi sudah terang-terangan, lantang, semua orang bisa membaca.

Dus, bukan hanya Ibu-ibu awam, Yai. Tetapi yang kami anggap sebagai guru, jadi panutan, Yai.

Kula kok wadulan nggih, Yai?

Lha wong kula bingung, Yai. Jika dulu Ibu-ibu ngerumpi, paling poll ngerumpi tetangga beda gang, sembunyi-sembunyi. Sakniki, Yai, yang dibicarakan embuh kenal embuh nggak, digoreng-goreng dulu. Diedit pakai photoshop, tambahi caption yang menantang, seolah-olah itu fakta, sampai kula bingung, Yai, itu fakta apa hoax.

Ngapunten, Yai, jika kata-kata kula membuat Yai bingung, hoax, photoshop? Duh, Yai, pokoke niku, lah. Dulu Yai dhawuh, sekian adab dengan tetangga, bahkan tetangga non muslim pun, adab itu harus tetap dijunjung. Sakniki, yai, sekedar beda pilihan pilkada saja… ah, kula nggak kuat curhat, Yai.

Yai, jika dulu kanjeng Rasul dihina, dicaci dengan kata-kata yang sangat tidak pantas oleh pengemis Yahudi, Kanjeng Rasul membalasnya dengan tindakan yang sangat lembut. Menyuapi pengemis buta itu, bahkan beliau melumatkannya terlebih dahulu. Kanjeng Rasul tidak membalas caciaannya, hingga Kanjeng Rasul wafat. Andainya tidak ada Abu Bakar yang mencoba menggantikan peran kanjeng Rasul, barangkali pengemis buta itu tak akan pernah tahu jika yang selama ini menyuapinya adalah orang yang selalu dicaci makinya.

Ah, Yai. Sungguh aku rindu sebuah masa yang lalu, dimana kita begitu guyub-rukun. Pada masa dimana kita enjoy saja saling berkunjung saat lebaran tiba, tak peduli apakah tetangga beragama muslim atau bukan. Yang kami tahu, kami bersukaria, saling bersalaman, berbagi kue-kue manis yang terpajang di toples.

Apakah sekarang di lingkungan kita sudah tidak seperti itu, Nduk?

Masih, Yai. Alhamdulillah, kami masih saja enjoy tanpa harus memandang apa status-nya, apa agama-nya. AH, kula mungkin terlalu terbawa ocehan di dunia maya, Yai. Baper itu kadang nggak bagus, Yai. Mpun lah, Yai, seperti dhawuh suami, kula gandhulan sarung Yai sepuh mawon.

.

 

Exit mobile version