Awal puasa, para dedengkot #BloggerKAH malah ngobrolin style baju, bukannya ngobrolin ibadah puasa, menu sahur, menu buka kek. Lebaran masih 27 hari lagi, di grup sudah bertebaran referensi tunik untuk emak K. Ngahaha. Obrolan enggak jelas ini berlanjut ke arah style baju, yang ternyata kami mempunyai selera yang berbeda.
Tim Jilbab Segiempat
Tim jilbab jadul. Mhuahahaha. Aku enggak bisa pakai pasmina, aneh gitu rasanya. Apalagi jilbab lilit-lilitan dengan seabrek jarum pentul dimana-mana. Sejal kelas 2 SMA, aku setia dengan jilbab segiempat yang disematkan jarum pentul di dagu bagian kanan. Enggak di tengah persis.
Errr, bisa membayangkan enggak?
Aku bukan tipe cewek yang super telaten untuk mencoba aneka gaya berjilbab. Gini-gini sajalah dari dulu. Paling-paling yang berubah cuma warna, jenis dan corak jilbabnya saja. Hahaha. Namun, sejak menjadi Ibu menyusui, aku lebih sering menggunakan bergo yang langsung slup, demi alasan kepraktisan jika harus menyusui si K.
Sekarang?
Balik lagi ke cinta pertama, dong, jilbab segi empat yang melegenda.
Selain alasan aku bukan tipe yang enggak telaten untuk berkreasi model-model hijab, aku memakai jilbab segiempat juga karena jilbab ini selalu cocok sepanjang zaman. Jilbab di foto ini sudah kupakai sejak kelas VIII SMA, loh. Jilbab aja aku setia, apalagi si dia. –Bisik-bisik ke abah K, Bah, baca nih, Bah! 😀
Tim Jarum Pentul Sebiji di Dagu Kanan
Untuk urusan perjilbab-an, aku termasuk ke dalam tim jarum pentul sebiji di dagu kanan. Eh, kepanjangan, ya? Hahaha. Aku enggak bisa memakai peniti atau bros untuk mengamankan jilbab segiempat yang sudah nangkring di kepala.
Dalam menyematkan jarum pentul pun aku berbeda dengan kebanyakan orang, jarum pentulnya aku sematkan di dagu sebelah kanan, enggak di tengah persis agar jilbab lebih kencang dan stabil. Rumit enggak? Masa perlu dibuatkan tutorial? Sayangnya, aku enggak punya foto yang memperlihatkan posisi jarum pentul dengan jelas. Wkwkwk
Setelah disematkan jarum pentul di dagu sebelah kanan, aku biasanya merapikan jilbab agar menutup dada dengan menyematkan bros barang sebiji di pundak sebelah kanan. Tim kanan banget, ya? Otak Kiri detected, kata seseorang. Hahaha.
Tim Gamis, juga Daster Addict
Sejak memutuskan berjilbab, aku mulai memilih gamis sebagai pakaian utama. Bukan apa-apa sih, hanya memilih praktis saja. Hahaha. Apalagi aku enggak pintar memadupadankan atasan-bawahan-jilbab, apatah lagi tas dan sepatu. Dulu sebelum mempunyai anak, aku lumayan memperhatikan kesinambungan warna jilbab dan gamis, sekarang? Asal samber saja mana jilbab yang terdekat sebelum si K melesat ke luar rumah. Wkwkwk
Saat di rumah, aku lebih memilih untuk memakai daster, rasanya adem. Aku mempunyai dua daster favorit yang always kupake, istilahnya mbah ringgo, kumbah garing dinggo. Sekarang dasternya sudah kumusiumkan setelah diprotes abah K karena ada yang sobek. Wkakakaka, setelah menikah aku membuktikan bahwa emak-emak terlalu cinta dengan daster sampai rela menjahit ulang bagian yang sobek.
Belum beli daster lagi?
Belum, sebab masih banyak gamis dan baju yang layak pakai, dan aku enggak mau ditinggal abah K kelak di yaumil hisab hanya karena kelamaan hisab baju. Hahahah, visioner syekalih.
Warna gamis yang kupunyai cenderung gelap. Entah, aku tidak percaya diri untuk memakai gamis atau baju dengan warna yang mentereng. Sampai-sampai mbak Arin dan mbak Ran menantangku untuk membeli tunik dengan warna pink. Hahaha, ya Rabb! EH, kalian penasaran enggak bagaimana style berpakaian mbak Arinta dan mbak Rani? Cuss ke blognya, ya, pan sudah pada hafal.