Site icon Widi Utami

Tetap Romantis tanpa Kata-kata

bahasa ekspresi

bahasa ekspresi

“Yang penting kan sayang dalam perbuatan, emang romantis bisa dimakan?” alibi seorang suami ketika istrinya menyinggung soal romantis.

Iya, sih. Kata-kata ngegombal memang enggak bikin kenyang, tetapi trust me, please, wahai Bapak-bapak suami yang terhormat, sikap romantis, kata-kata romantis yang sesekali kamu utarakan, akan membuat mood istri melambung tinggi. Seolah punya kekuatan maha dahsyat untuk melalui hari-hari yang berat.

Barangkali romantis tidak akan membuat sekeluarga kenyang, tetapi ia akan membuat istri ringan untuk pergi ke dapur. Memasak untuk yang tercinta. Mempersembahkan apa yang terbaik darinya untuk yang dicinta. Ibarat kata tangan lecek kena parut, bau bawang yang enggak hilang dengan sekali bilas, mata perih karena ngiris bawang, enggak ada apa-apanya dibanding cinta yang ia terima.

Barangkali romantis tidak akan membuat kaya-raya, tetapi percayalah, merasa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan membuat istri tabah menghadapi drama rumah tangga. Meski itu tidak akan mengubah tai kuda menjadi rasa coklat, tetapi romantis akan membuat istri merasa dihargai karena cintanya dibalas, paling tidak, makan nasi lauk tempe, kluban dan sambal bareng suami tercinta sudah menerbitkan pendar-pendar bahagia.

Bukankah rumah tangga yang ayem, istri yang melepas suami dengan senyum ceria akan membuatmu semangat bekerja untuk keluarga tercinta?

Barangkali romantis tidak otomatis membuat anak pintar layaknya Einstein, tetapi, percayalah duhai Bapak suami yang baik budi lagi luhur akhlaknya, pendar-pendar cinta yang kaugetarkan akan membuat kesabarannya mengembang berkali lipat, riang mengasuh anak, tak gentar menghadapi tantangan.

“Aku tu pengen romantis, tapi kelu lidahku untuk berkata-kata.” Sanggah sesesuami, yang memang enggak terlalu verbal.

Iya, itu kata-kata abah K memang. Ia mengakui jika sulit mengungkapkan rasa. Jangankan mengungkapkan rasa, meminta maaf dan berterimakasih saja sulit.

Suami emang sebegitu tinggi gengsinya ya? Hahahaha.

Aku dulu sering merasa bertepuk sebelah tangan. Ngobral kata-kata sayang, kangen, tetapi cuma dibalas senyuman. Ya… Meski sudah paham luar dalam jika punya suami yang tidak terlalu verbal bahasa sayangnya, tetapi toh rasa kok cuma aku seorang yang kangen itu tetap diam-diam menyelinap.

Lalu,

Baper sendiri. Gemes. Merasa mencintai tetapi tidak dicintai. Kalo dilogika memang sikap dan perlakuannya penuh cinta. Tetapi fitrahnya seorang perempuan, sisi feelingnya jauh lebih menonjol dibandingkan sisi thinkingnya dalam urusan ini.

Ada yang senasib? 🤭

Menyepakati Bahasa Ekspresi Agar Tetap Romantis Meski tanpa Kata-kata

Bahasa ekspresi, bahasa cinta yang disepakati bersama menjadi jembatan untuk mengungkapkan sisi romantis meski lidah kelu tak mampu berkata-kata. Bahasa ekspresi ini bisa disesuaikan dengan bahasa cinta pasangan.

Terserah gimana kesepakatan kita dengan pasangan untuk mengungkapkan rasa tertentu. Enggak ada patokan baku. Enggak ada aturan-aturan atau tips tertentu. Intinya cuma satu; sepakat.

Jika pun mau mengungkapkan rasa kangen dengan cubitan, enggak apa-apa, jika ini sudah disepakati dengan pasangan. Mengungkapkan rasa cinta dengan saling menggojlok? Monggo, jika pasangan menyepakati.

Kesepakatan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar dalam bahasa ekspresi. Kami sudah belajar banyak dari ini, entah berapa kali kesalahpahaman yang kami alami karena salah memahami sinyal cinta pasangan.

Pernah abah K mau mengungkapkan rasa sayang dengan gojlokan, kutangkap sebagai penghinaan. Lha piye, Rek, aku lagi sensi malah digojloki. Pengennya dielus-elus manja malah dieceni. Emosi. Drama. Abah K pengennya menciptakan kondisi romantis, aku menanggapinya dengan menyemburkan bara api. 😭

Hingga pada suatu malam, saat aku membahas bahasa ekspresi si K yang semakin berkembang dan abahnya wajib tahu, abah K mengajak untuk menyepakati bahasa ekspresi diantara kami. Bagaimana abah K mengungkapkan rasa terimakasih, maaf, sayang, kangen.

Terlihat ‘gitu thok’, ya. Tetapi ternyata efeknya luar biasa. Aku tidak lagi merasa cinta bertepuk sebelah tangan. Tidak lagi memancing-mancing dengan pertanyaan, “Enggak kangen Ayi ya?”

Aku merasa disemangati untuk menghadapi si K yang makin hari makin kreatif hanya dengan pelukan sebelum berangkat kerja.

Aku mengerti jika abah K minta maaf dan tidak lagi merasa abah K kayak enggak punya rasa bersalah setelah menyepakati bagaimana abah K mengungkapkan perasaan bersalah dan minta maaf. Sesepele itu meminta maaf, tetapi efeknya gedhe. Sangat erat hubungannya dengan mood seorang istri. Legawa, toh, suami sudah meminta maaf.

Aku ingin menularkan sisi romantis ini kepada sesiapapun yang punya pasangan regresif verbal. Pasangan yang sulit mengungkapkan rasa dengan kata-kata.  Buatlah kesepakatan bagaimana mengungkapkan rasa. Paling tidak tiga kalimat ajaib tata laku manusia; maaf , tolong, terimakasih dan bahasa sayang antar pasangan; kangen, cinta, dan… Ehm.

Yang terakhir penting banget. Jangan sampai karena pasangan tidak berani mengungkapkan keinginan untuk making love, lantas dianggap tidak punya keinginan untuk itu. Sepakati saja bagaimana mengungkapkannya, emak K termasuk barisan yang enggak sanggup berkata ingin. Isin, broh, iya, sama suami sendiri. Tetapi gimana ya… Hahahaha. Jadi aku memberitahu abah K sekali saja tentang sinyal seperti apa yang kukirim ketika ingin.

Ini semacam membuat kesepakatan sandi morse atau sandi-sandi lainnya dalam Pramuka ya. Hahahaha.

Kesepakatan spesial antara pasangan ini menjadikan bahasa ekspresi menjadi bahasa yang spesial, only you and me yang tahu. Makanya bahasa ekspresi dengan pasangan enggak kubeberkan disini gimana contohnya. Buatlah sendiri, jadikan bahasanya spesial diantara pasangan halal.

Selamat menciptakan bahasa cinta dengan pasangan halal, semoga semakin sakinnah, mawaddah dan senantiasa dalam naungan Rahmah Robbuna.

 

Exit mobile version