Site icon Widi Utami

Telingaku Boleh tidak Sempurna, Syukurku harus Paripurna

Telingaku Boleh tidak Sempurna, Syukurku harus Paripurna 1

Pojok Selatan, Tempat Favorit untuk Ngariung.

Bagaimana dengan sisa pendengaran? Bagaimana dengan tangan yang masih leluasa berkarya? Bagaimana dengan kaki yang masih kuat menapak? Bagaimana dengan mata yang masih mampu melihat? Bagaimana dengan otak yang tidak kurang suatu apa?

Mantra itu berulang kali kurapalkan ketika perasaan menjadi manusia yang paling sial karena Robbuna Memberikan pendengaran yang istimewa. Ambang batas pendengaran rata-rata 70 dB membuatku kesulitan untuk memahami lawan bicara. Singkatnya, aku adalah penyandang Hard of Hearing, kesulitan mendengar.

Aku merasa putus asa dan tidak berguna. Apalagi ketika menjalani hari-hari dengan kata-kata nan akrab, “Kamu disitu saja, biar mereka yang urus.”

Sebegitu tidak bergunanya kah seorang Hard of Hearing?

Robbuna Mengirimkan Adik-adik untuk ‘Mencubitku’

Seorang Ibu mengunjungiku, meminta aku untuk mendampingi anaknya mengaji lagi. Beliau mendesak, “Ayolah, Mbak Ut, masak tega melihat adik-adiknya tidak bisa mengaji?”

Sepolos ini adik-adik, apakah aku tega menolak?

Aku luluh, menyanggupi untuk mendampingi anak dari Ibu tersebut di rumah setelah ba’da Maghrib.

Sebagai seorang penyandang Hard of Hearing, aku membutuhkan gerak bibir dan suara yang sangat jelas. Aku meminta mereka untuk menggerakkan bibir mereka dengan lebar dan jelas, lengkap dengan pitch suara yang lumayan tinggi.

Bisa ditebak, adik-adik setelah mengaji di hadapanku akan haus.  Bukannya kapok, anak itu mengajak teman-temannya, satu, dua, hingga kemudian ramai menjadi 15 anak. Rumahku ramai, mereka begitu semangat bertandang ke rumah, bahkan saat mati listrik dan hujan deras sekalipun.

Sungguh, aku tidak tega menolak maksud kedatangan mereka. Kisah tentang adik-adik ini, kuabadikan dalam buku antologi, kalian bisa mengunduh gratis versi e-booknya di sini, versi cetaknya sudah tidak beredar lagi.

Keraguan kembali Datang

“Tajwidnya aja belum bener, gimana dengan adik-adik??”

Agenda utama adik-adik setiap ba’da Maghrib adalah mengaji. Aku sadar jika aku belum sempurna dalam membaca al-Qur’an, beberapa huruf masih keliru. Beberapa orang menyangsikan, bahkan terang-terangan mengkritik jika tajwidku hancur.Saat itu, aku memutuskan untuk undur diri mendampingi adik-adik mengaji. Tetapi sayang, tidak ada yang menggantikan mendampingi adik-adik mengaji, termasuk seseorang yang mengkritik jika tajwidku hancur.

Aku sowan kepada Yai Nasrudin, guruku. Mengadukan kritikan tentang tajwid, beliau merupakan hafidz yang sanadnya tersambung Rasulullah melalui Mbah Yai Arwani Kudus.

Dengan hati-hati, beliau dhawuh, “Nduk, awakmu ki sing syukur, kupingmu kurang, nanging lafadzmu sing kliru ora akeh. Kupingmu kurang, nanging isih bisa nyimak ngajine bocah-bocah cilik. Ora papa, dilanjut, mengko yen Qur’ane wis khatam, dikon ngaji mrene. Insya Allah, tajwid e bocah-bocah iso luwih apik timbang awakmu.”

Aku pun memantabkan hati, menutup rapat-rapat telingaku dari gunjingan yang tidak perlu, mematri dhawuh yai di hati.

Hatters ‘ll always Hate

Anonymous

Sepuluh Tahun Berlalu

Sepuluh tahun berlalu, adik-adik generasi pertama sudah menapaki mimpinya. Beberapa sudah merantau, sebagian yang lain masih berjuang di sekolah. Namun doaku untuk mereka tetap sama.

Semenjak menikah, aku belum bisa mendampingi dengan maksimal karena harus wira-wiri ke kampung. Tetapi, rumah jauh lebih ramai, kedua mbakku kini yang mendampingi. Aku kadangkala menemani mereka, tetapi lebih banyak sibuk dengan tingkah polah si K yang sedang aktif-aktifnya.

Kutulis flashback ini dengan sepenuh cinta,agar kelak menjadi penyemangat diri menapaki mimpi berikutnya. Ragaku boleh berpindah-pindah, semoga tetap menebar manfaat.

Emak K
Deaf Blogger, Long Life Learner

Exit mobile version