Setiap kehamilan memiliki ceritanya sendiri. Aku tahu itu. Lalu bagaimana jika seorang Ibu mengalami drama trimester pertama baik di kehamilan pertama dan kehamilan kedua? Sudah berpengalaman, belum tentu secepat itu memutuskan untuk legawa.
Setiap kehamilan memiliki ceritanya sendiri. Sampai-sampai aku berdoa jauh-jauh hari agar di kehamilan kedua tidak perlu mengalami drama trimester pertama seperti kehamilan yang lalu. Apalagi pertimbangannya jika bukan si K yang masih butuh didampingi Ibunya?
Aku berikhtiar sungguh-sungguh.
Mengubah mindset. Menyiapkan mental. Seperti yang dikatakan orang-orang, bahwa ini semua hanyalah perkara sudut pandang.
Memperbaiki pola makan. Katanya, drama pada trimester pertama disebabkan asam lambung yang tidak terkendali. Aku mencoba pola makan Food Combining yang berhasil mengendalikan GERD pada abah K.
Berharap dengan ikhtiar ini, tidak ada drama trimester pertama yang mengganggu. Bersiap untuk promil dengan riang. Optimis.
Jika kemudian, ternyata, drama trimester pertama tetap menyapa. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima, legawa.
Menghadapi kondisi seperti ini aku lebih siap karena pernah mengalaminya di kehamilan pertama. Tetapi lain hal ketika berhadapan dengan si K, betapa rasa bersalah itu berdentam-dentam.
Jika dulu aku hanya merasa bersalah pada abah K yang harus mengambil alih semua pekerjaan rumah tangga, sekarang rasa bersalahnya bertambah; si K.
Meski bocah empat tahun yang akan menjadi kakak itu terlihat riang seperti biasa. Memaklumi Ibunya yang harus banyak istirahat dan bolak-balik muntah. Memeluk Ibunya berulang kali. Menunjukkan perhatian-perhatian kecil seperti membaluri minyak kayu putih tanpa kuminta. Tetapi, Oh, Nang, maafkan Ibu.
Aku hanya menyampaikan padanya jika aku sakit. Tidak ada embel-embel mabuk karena gawan bayi. Aku tidak ingin merusak keriangan dan bayangannya tentang adik bayi yang masih kecil sejari, lalu besar-besar dan diajak jalan-jalan.
Berulangkali abah K membesarkan hati, bahwa ini adalah jalan untuk tirakat keluarga kecil kami. Bahwa anak adalah sejatinya mursyid yang menggembleng orang tuanya. Mursyid yang memangkas nafsu orang tuanya. Mursyid yang menuntun orang tuanya untuk lebih saling mengerti dan memahami.
Mungkin,
Aku hanya perlu belajar menerima keadaan ini. Semoga drama ini semakin menguatkan bonding keluarga kecil kami. Membuat kami semakin mendekat pada-Nya. Memasrahkan segalanya kepada Kehendak-Nya setelah kkami berikhtiar semampu yang kami biasa.
Dear K junior, sehat-sehat di dalam. Makanan susah sekali masuk, semoga asupan gizi untukmu tidak terhambat. Sampai jumpa kelak dalam keadaan bahagia dan Ibu yang jauh lebih baik dari sekarang.