Site icon Widi Utami

Susahnya Membiarkan Anak Berproses

Si K sedang suka-sukanya bermain warna. Dari main pasir tempel hingga mewarnai menggunakan berbagai media. Emak K pernah baca, bahwa orang tua harus membiarkan anak berproses seburuk apapun hasilmnya.

Di Peer Group PG4 Trasi4Kaizen, kami sempat membahas tentang bagaimana seni menghadapi anak yang sedang berproses. Diskusi berlangsung seru dan ceria, mbak Farikhah dan mbak Aryani yang sempat mengikuti Talkshow berbagi apa-apa yang didapatkannya di Talkshow.

 

Ajari anak memancing dan berburu sejak kecil, memupuk bakatnya, menerima kekurangannya, tidak selalu menuntut sempurna versi kita, sabar mendampingi agar dia bisa mandiri dan menemukan passionnya,

Terdengar menarik dan mudah, ya? Ternyata membersamainya enggak semudah itu, Gengs. Hahaha.

Kemarin malam si K meminta mewarnai di alun-alun. Awalnya kami menolak karena hari sudah maghrib dan kami harus bergegas menuju ke masjid. Di perjalanan mau pulang, tiba-tiba si K masih ndremimil minta mewarnai. Ditawari mewarnai di rumah enggak mau, Kevin ingin mewaynai pakai cat aiy, katanya.

Akhirnya kami balik kanan ke arah alun-alun, padahal jarak antara masjid tempat kami sholat dan alun-alun mencapai 6 km. Jauh, Bok. Sekilo lagi sudah sampai rumah, padahal. Namanya demi anak semata wayang, dijabanin juga malam-malam membelah dinginnya kota Salatiga.

Anak Mewarnai

Si K langsung lari ke arah penyedia mewarnai, mengitari gambar demi gambar dan ngedeprok di depan gambar robot. Abah K meminta alat mewarnai. Kece nih, canvasnya pakai kain, catnya pakai cat minyak, kuasnya ada sejumlah warna cat.

Awalnya si K mewarnai dengan telaten, memisahkan kuas-kuas sesuai warnanya, eee, lama-lama dia nyengar-nyengir sambil mencampur warna. “Ibuk, boleh?” tanyanya.

“Boleh aoa, Nang?”

“Ini, meyah campuy biyu. Hihihi.” ujarnya, tanpa menunggu aku mengangguk, si K mencampurkan warna merah dan biru. Padahal disitu sudah ada warna ungu.

“Jadi ungu, Buk.”

Si K mencampur-campur warna

Si K makin terobsesi mencampur warna-warna lain dan mengusapkan ke canvas. Hasilnya? Segala warna dicampur ya jadi hitam. Hahahaha. Aku bolak-balik gregetan. Duh Nang, harusnya jangan gitu, harusnya gini, harusnya… Hatiku terus saja berteriak-teriak saat melihat si K mewarnai, tetapi kutahan kuat-kuat, aku ingin membiarkan ia berproses.

Di sebelahku, ada Ibu-ibu dengan dua anak yang terus-menerus mengarahkan anaknya dalam mewarnai. Si K melongo dan bergumam, “Ibune mayah yo, Buk? Ibune mayah yo?”

Aku menunggu si K sambil harap-harap cemas, canvas sebagus ini, cat minyak sebanyak ini, berapa gerangan harga yang harus kami bayar dan akan berakhir sebagai warna abstrak dominan hitam?

Hasil mewarnai si K yang Dominan Hitam

See? Emak K sampe geleng-geleng cekikikan. Kali ini kami membayar 3 kali lipat dari harga mewarnai biasa yang memakai media styrofoam, media canvas kain ini dipatok 20k. Worth it lah dengan cat minyak dan kuas sebanyak itu.

Saat selesai, si K berteriak girang, “Ibuk, sudah selesai!” Matanya berbinar-binar. Menyangking hasil mewarnainya dengan riang. Ada banyak poin yang harus kusyukuri kali ini, diantaranya,; si K mewarnai sampai selesai tanpa kudorong-dorong, plus emaknya sabar menunggu, please give your applouse for us, wkwkwk, si K belajar mencampur warna, belajar bagaimana memegang kuas yang benar.

Si K pulang dengan riang gembira, sampai rumah langsung nyamperi Mamak, pamer hasil mewarnainya. Minta Ibu untuk memajang canvasnya di kamar. Keesokan harinya, rasa bangganya masih ia pamerkan ke teman-temannya, Budhe-budhenya. Yang dipamerin nahan ketawa sambil mengacungkan jempol. Alhamdulillah, enggak ada yang membuatnya down. Heuheuu.

Ranah visualnya si K terasah benar di aktivitas ini. Ia memang sangat tertarik mencampur warna sampai warnanya enggak karu-karuan. Dulu pernah mencampur aneka warna air dan di akhir aktivitas airnya jadi bewarna coklat kayak air kobokan.

Membiarkan anak berproses memang enggak mudah, rasanya pengen mendikte, ini loh nang, yang bagus gini, na… nanti kalau merah dicampur kuning jadinya orange, buat mewarnai kepala. Tetapi, dikte akan mengungkung imajinasi anak, juga menghempaskan rasa percaya dirinya.

Aku bungah ketika si K bangga dengan hasil keringatnya sendiri. Anak tiga tahun itu, sekarang sering kali berujar, “Ini yang mewaynai Kepin sendiri, maem nasi goyeng, yang goyeng Kevin wae, Ibuk, ini gambay tangan, yang gambay Kevin.”

Dan… aku ingin menjaga rasa percaya dirinya, belajar menutup mulut ketika ia berproses, belajar untuk tidak berkomentar selama itu tidak membahayakan diri-sendiri dan orang-orang sekitarnya.

 

 

 

Exit mobile version