Site icon Widi Utami

Suami dan Kebosanan sebagai Ibu

bahasa ekspresi

bahasa ekspresi

Memutuskan menikah berarti siap dengan segala konsekuensi sebagai seorang istri dan ibu sekaligus. Sebuah peran yang bakal menghilangkan kebebasan kala masih gadis, sekaligus memberi tantangan yang tidak pernah dirasakan saat masih gadis.

Aku berulangkali bertanya-tanya, its okay untuk merasa bosan dan jenuh?

Selempeng si K minta mandi lebih lama sudah bisa membuatku ingin nyubit pantatnya keras-keras. Sesepele si K merengek minta dipeluk saat aku merasa sangat lelah dan badanku remuk, sudah membuatku mengeluh, peluk lagi?

Aku merasa ada yang salah dalam diriku. Merasa…. errr, apa yang terjadi hingga membuatku gampang marah, gampang emosi, gampang frustasi?

Enggak bersyukur sudah punya anak?

Oh come on, ini enggak ada hubungannya dengan rasa syukur punya anak atau enggak. Sungguh, sama sekali bukan ini poinnya. Aku tahu, aku bersyukur punya anak kinestetik dominan yang geraknya ora uwis-uwis, matematis logis yang dikit-dikit minta belajar berhitung, peluk-able yang sehari bisa minta peluk puluhan kali, si tegas yang siap melindungi Ibunya dari orang usil dengan tinju dan tendangan mautnya.

Malam-malam, aku curhat dengan abah K. Bercerita tentang emosiku yang naik-turun, rasa jenuh yang di ubun-ubun, juga perasaan bersalah karena cenderung emoisan kepada si K.

Aku memintanya mendengar dan berkomentar nanti atau besuk, atau bahkan beberapa hari kemudian setelah emosiku terlihat stabil. Aku hanya butuh didengar dan sedang tidak ingin menerima saran-saran.

Curhatnya hanya seputar bosan, jenuh, dan cerita yang mengarah ke satu titik itu. Jam kerjanya sekarang tidak lagi memungkinkan untuk memberikan aku kesempatan tidur siang, gantian mengasuh si K seperti biasanya.

“Sekarang emang lagi disuruh tirakat ya, Bah?”

Ia mengangguk. Mengulang kembali ingatan tentang perjalanan kami bulan ini. Pindah kontrakan di belakang kantor yang serba mendadak. Tambahan pekerjaan yang membuat waktu meetingnya semakin panjang dan sering.

Alih-alih membandingkan dengan Ibu, emak atau perempuan lain yang jalan hidupnya lebih keras dariku, abah K mengajakku untuk mengenang bagaimana dulu kami bisa melewati hari-hari yang lebih berat daripada saat ini.

Hari-hari dimana kami harus membuka celengan plastik karena tidak ada lagi uang untuk beli buah esok hari. Hari-hari dimana kami menghabiskan rumah di kontrakan super sederhana, yang dindingnya pun belum di-finishing.

“Wajar merasa jenuh. Aku juga, Yi. Tetapi pindah kerja bukan solusi, kelak juga akan merasakan kejenuhan yang sama meski pekerjaan terlihat lebih ringan.”

“Enggak papa. Dinikmati dulu. Jenuh juga butuh dinikmati.”

Kami tertawa. Menertawakan rasa bosan yang menyerangku.

“Kamu butuh belanja? Biasanya diijinin belanja langsung mari jenuh e.”

Aku nyengir. Tetapi tidak, aku sedang tidak ingin belanja apapun sekarang. Aku hanya butuh didengarkan dan dimaklumi.

“Besok Kevin kasih waktu nonton lebih panjang. Kamu bisa istirahat dulu, bobok siang dulu.”

“Enggak khawatir Kevin kecanduan?”

“Lha dewe mbiyen lak nonton seko esuk tekan awan yen lagi libur, Yi. Enggak apa-apa, asal bukan nonton pake hape.”

Hatiku menghangat. Ya, aku hanya butuh dimaklumi. Terlalu keras dan idealis, seringkali membuat rasa jenuh lebih cepat menghampiri. Maaf, jangan jadikan statementku untuk membela diri dan memaklumi sepanjang hari. Sesekali its okay, sepanjang hari, orang Jawa bilang, namanya tuman.

Random banget ya blogspot kali ini~

Exit mobile version