Malam ini sudah berniat tadarus, minimal dua juz perhari agar bisa khatam saat Ramadhan berakhir. Sedang khusuk mengaji, merapal huruf-demi huruf dalam surat cinta-Nya, tetiba si K bangun dan meminta gendong. Padahal baru mendapatkan dua pojok halaman saja.
Rasanya?
Jangan ditanya, sedih pasti. Aku beristighfar sejenak, mengatur nafas dan pikiran. Lalu menyambut si K dengan penuh senyuman–yang dipaksakan–,”Nggih, Nang, gendong? Ibu lagi ngaji, lho.”
Itu baru satu scene.
Kupangku si K sembari membaca al-Qur’an, si K kadang-kadang usil menirukan, lebih sering usil embolak-balikkan halaman al-Qur’an yang sedang kubaca. Baru menyelesaikan satu pojok, si K mencolek-colek lenganku, “Ibu, pipis…”
Setelah mengantar si K pipis kembali ngaji? YA ENGGAK LAH, si K tergoda dengan aneka permainan di luar. Setelah si K lelah bermain dan kemudian tidur siang, sudah saatnya untuk uprek di dapur menyiapkan menu buka puasa sebelum si K bangun kembali. Setelah itu menghadapi cucian, jemuran, pel dan dapu. Begitu saja terus, target tadarus bubar jalan. Cry~
Kadang aku iri dengan abah K, beliau sehari bisa membaca sampai 10 juz, masih bisa melayani satu klien dari luar negeri di bulan Ramadhan ini. Biasanya beliau bermain dengan si K saat emak lelah dan butuh tidur sejenak. Lepas itu kembali menghadapi target-targetnya.
“Bah,”
“Ya?”
“Abah kan bisa ngaji sampai 10 juz. Lah, Ayi, boro-boro sepuluh juz, satu juz aja susah bener.” curhatku, selepas tarawih. “Kalau lagi ngaji, baru dapat satu pojokan, Kevin sudah bangun. Ayi bisa apa. Ayi kecripatan pahalanya abah enggak ya?”
Aku menceracau, sensitif banget di Ramadhan ini, “Ayi, kan, sudah bantu jaga Kevin, jadi Abah bisa ibadah dengan tenang.”
Abah K hanya tersenyum. Mungkin geli dengan ceracauan istrinya “Ya, kan bagi tugas, Yi.”
Lalu kami berbincang tentang ibadah yang enggak melulu harus sholat dan baca Qur’an, hanya saja, memang bulan Ramadhan adalah bulannya Qur’an. Mungkin, aku harus belajar untuk ridha dengan taqdir sebagai seorang Ibu yang tidak lagi sama dengan semasa masih gadis.
Ya, kadangkala aku merasa ingin kembali di saat masih gadis, dimana kewajibanku belum banyak dan begitu banyak hal yang bisa kulakukan saat Ramadhan tiba. Please, ini bukan perkara tidak bersyukur sudah diberi anak dan suami yang sholih. Sungguh bukan, ini hanya perasaan yang sedang tidak tentu arah, aku sangat bersyukur dengan keberadaan keluarga kecilku, tentu saja.
Tantangan itu Bernama Anak
Si K sedang berada dalam usia yang super aktif dan caper. Meleng sedikit saja, dia tetiba sudah melesat keluar rumah. Ditinggal mengambil air putih ke dapur, aku sudah mendapatinya menangis kesakitan dengan mulut berdarah karena jatuh dari mobil-mobilan.
Aku tidak punya nyali untuk menjaga si K sambil tadarus.
Aku tidak punya keberanian lebih untuk mengajak si K tarawih berjamaah di masjid, khawatir mengganggu jamaah lain dengan celoteh dan gerak-geriknya yang super.
Aku hanya punya tenaga untuk tetap berpuasa dalam kondisi menemani si K bermain dan berpetualang seperti biasanya. Anak sekecil itu, mana peduli Ibunya sedang puasa. Ia tetap saja bergerak memuaskan keingintahuannya. Di siang yang terik sekalipun, ia berjalan menyusuri selokan, bertanya tentang air yang mengalir, kupu-kupu terbang, daun cabai, bunga yang berwarna-warni, hingga laba-laba yang sedang tidur di sarang.
Lalu, ketika ada yang bertanya di hari kedua bulan Ramadhan, “Sudah sampai di juz berapa?”
Rasanya ingin kujawab, “Sudah khatam satu kali dengan baca Al-Ikhlas tiga kali.”
Gusti…
Menurunkan Standar Ibadah di Bulan Ramadhan
Sedih? Iya. Aku menurunkan standar ibadah di bulan Ramadhan, demi apa jika bukan demi hati yang terlampau sensitif. Aku menurunkan standar ibadah agar aku tidak terus-menerus protes ke Robbuna, “Gusti, kenapa aku tidak bisa tadarus lebih banyak seperti dulu?”
Aku menurunkan target khatam dan target ibadah sholat hingga ke taraf minimal: minimal khatam satu kali dan sholat wajib di awal waktu. Selain itu? BONUS.
Cara ini–meskipun tidak lazim–, membuatku lebih tenang dan tidak kecewa jika aku tidak bisa meneruskan tadarus dan sholat sunnah ketika si K membutuhkanku. Cara ini membuatku mudah bahagia. Hanya karena aku bisa sholat tarawih, aku bahagia. Hanya karena bisa membaca satu juz dalam satu kali duduk, aku bahagia. Hanya bisa menemani abah K tadarus hanya di waktu shubuh, aku bahagia.
Cara ini juga membuatku tenang ketika menghadapi si K, membuatku lebih sering sholawat dan merapal surat-surat yang sudah kuhafal sembari menemani si K–yang akhirnya membuat si K sedikit-demi sedikit hafal sholawat dan surat pendek.
Selalu Ada yang Harus Diutamakan
Aku selalu percaya, dalam setiap masa selalu ada yang harus diutamakan. Mungkin kali ini adalah masa-masa milik si K, dimana aku harus memusatkan perhatian penuh kepada si K yang sedang berada dalam masa-masa Golden Age. Masa-masa super aktif dan caper. Barangkali masa-masa ini akan kurindukan kelak jika si K sudah mandir.
Aku selalu mendendangkan doa, agar Robbuna Mengampuni segala kesalahanku karena aku berusaha untuk mengerahkan segenap tenaga dan pikiranku untuk menunaikan amanah sebagai seorang perempuan yang sudah dipercaya untuk memiliki anak.
Aku selalu berharap, agar apa-apa yang aku lakukan, sehingga abah K bisa beribadah dengan maksimal di bulan Ramadhan, bisa menghapuskan kekuranganku dalam menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.
Untuk Ibu-ibu yang sedang berada di masa yang sama, mari bergandengan tangan saling menguatkan dan mengingatkan, jangan sampai keluh-kesah karena tidak bisa menjalani Ramadhan dnegan maksimal malah membuat kufur nikmat dan melalaikan kewajiban.
Kupeluk dengan Sepenuh Doa,
Emak K, seorang Ibu yang butuh belajar sepanjang masa