Seribu Jalan Berkomunikasi Ibu Tuli vs Anak Dengar
Widi Utami
Menjadi Ibu Tuli dari anak yang Dengar itu memang challenging. Komunikasi diantara kami mungkin lebih menantang dibandingkan komunikasi antara Ibu Dengar dan anak Dengar. Enggak terhitung salah paham diantara kami, enggak terhitung berapa kali aku menyepi sejenak karena enggak paham apa yang si K sampaikan dan dia tantrum. Masa-masa kritis komunikasi diantara kami adaah saat si K mulai belajar bicara, mana bareng dengan masa-masa tantrum, lagi.
Aplikasi Live Transcribed yang Menunjang Ibu Tuli
Sebenarnya ada aplikasi penerjemah suara ke text yang bisa menerjemahkan obrolan orang lain. Namun sayang, diantara aplikasi yang pernah kucoba, aplikasi yang paling bersahabat adalah aplikasi Live Transcribed versi online, dimana hape harus selalu tersambung dengan paket data. Enggak masalah, sih, sekarang banyak paket telkomsel yang ramah di kantong dengan koneksi stabil. Tetapi, untuk penggunaan bahasa sehari-hari, aplikasi Live Transcribed ini belum cukup ramah karena ia belum mampu menerjemahkan bahasa daerah dengan baik.
Proses si K Memahami Ibu yang Tuli
“Telinga Ibu didandani.” celetuk si K, suatu hari saat kami sedang berdiskusi isi buku Inside The Body. Kami cukup sering berdiskusi tentang buku, meski aku harus menebak-nebak apa yang dibicarakan oleh si K.
“Kevin pengen Ibu sembuh?”
Si K mengangguk. Perasaanku? Kebat-kebit. “Tetapi, telinga Ibu tuh sudah enggak bisa didandani. Kayak mainan Kevin yang sudah pecah, kita lem pun masih rusak kan?”
Si K diam. Aku berusaha menguasai diri. Perihal telinga ini super sensitif untukku.
“Kita lihat telinga ya. Ini rumah siput, ini gendang telinga, ini syaraf. Nah, punya Ibuk yang rusak di sini, di syarafnya. Gendangnya enggak apa-apa, tetapi syarafnya rusak. Enggak semua suara bisa Ibuk deteksi. Makanya, Ibuk butuh baca mulutnya Kevin. Kevin kalau ngomong, harus kelihatan Ibuk.”
Aku nyerocos. Enggak tahu Kevin paham atau enggak.
“Syaraf itu apa?”
Aku membalik halaman, mencari penjelasan soal syaraf. “Ini, ini namanya syaraf. Dia yang menyampaikan ke otak.”
“Kalau enggak ada syaraf?”
Aduh.
“Emmm. Kalau enggak ada syaraf, manusia jadi patung. Wong enggak ada yang menyampaikan perintah otak.”
Sejak diskusi yang bagiku berat untuk anak usia 5 tahun itu, si K enggak lagi mengungkit tentang “Telinga Ibu didandani.”. Dia memilih untuk bicara singkat dengan Ibuknya dan cerita ke abahnya. Si K mungkin capek karena harus mengulang-ulang setiap berbicara dengan ibunya.
Enggak terhitung berapa kali si K ngambek karena keburu pengen sesuatu tetapi Ibu enggak kunjung paham. Yang paling epik, si K ingin beli bakpao, tetapi Ibuknya enggak paham-paham. Ketika Ibu paham jika dia ingin beli bakpao, tukang jual bakpaonya sudah pergi.
Nyesek? Kadang. Sering aku bertanya-tanya, apakah seterusnya akan seperti ini? Kepada abah K, aku nyeletuk, “Ya, gimana ya. Kan emang Ibunya kayak gini, yang penting kan, kebutuhan ceritanya Kevin bisa ke abahnya, Kita ini kan saling melengkapi. Ngono yo?”
Celetukan yang enggak butuh jawaban, enggak butuh tanggapan, juga enggak butuh di puk-puk. Cuma pengen abah K tahu apa yang ada di benakku salama ini.
Rupanya Gusti Allah Menunjukkan jika telinga rusak bukan berarti enggak bisa ‘mendengar’. Ada banyak jalan untuk tetap berkomunikasi dengan anak meskipun Ibunya Tuli.
Si K, yang entah belajar dari mana, tiba-tiba meminta ijin untuk meminjam hapeku, “Ibuk, aku mau ngetik banyak.”
Aku bukakan aplikasi doc yang ada di hapeku. Si K mengetik cerita, untuk yang pertamakalinya. Biasanya dia hanya mengetik kata yang aku enggak paham.
Enggak bisa kupungkiri jika aku sungguh excited dengan inisiatif si K mengetik cerita ini. Aku menanggapinya dengan sangat antusias, si K akan menanggapi balik dengan ketikan.
Gusti Allah, rasanya tuh, bayang-bayang aku enggak bisa menikmati serunya cerita antara ibu dan anak langsung runtuh. Si K sekarang punya tiga jalan untuk berkomunikasi dengan Ibunya; Oral/ Verbal, isyarat dan tulisan.
Memang, ya. Gusti Allah enggak bakal Memberi masalah tanpa menyertakan jalan keluar. Masalahnya adalah, apakah kita cukup sabar dan telaten untuk mencari jalan keluar yang kadang rasanya kayak waze.