Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
-Sila Kelima Pancasila-
Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ternyata harus melibatkan semua rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Aku baru menyadarinya belakangan ini ketika aku aktif speak up terkait difabel di Indonesia. Sebesar apapun usaha pemerintah dalam memberikan akses kepada difabel akan sia-sia ketika orang-orang di sekitar belum peka dengan kebutuhan difabel. Belajar bagaimana berinteraksi dengan difabel adalah salah satu langkah yang akan berdampak besar untuk mewujudkan Indonesia inklusif.
Contents
Aksi Nyata Mewujudkan Sila Kelima Bagi Difabel
Difabel juga rakyat Indonesia, ia berhak mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan kespesialan yang disandangnya. Tidak mudah menjadi seorang difabel, selain berjuang dengan keadaannya yang spesial, ia juga berjuang melawan insekyur ketika berinteraksi dengan orang sekitarnya.
Aku berada di posisi ini.
Menjadi seorang Hard of Hearing yang belum begitu dikenal oleh orang lain memberiku banyak pengalaman baru. Jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu saat aku masih sekolah, aksi nyata mewujudkan sila kelima bagi difabel beberapa tahun belakangan ini begitu gencar dan terasa.Apalagi setelah Internet menyatukan Indonesia, rasanya batas-batas pada penyandang difabilitas untuk berinteraksi dan bekerja semakin tipis.
Akses Pekerjaan dan Pendidikan bagi Difabel
Tahun 2011, saat dimana aku mulai mengenal lingkungan kerja selepas SMA, aku masih kesulitan mencari lapangan kerja karena kondisi pendengaranku yang dianggap akan menghalangi komunikasi. Aku bekerja menjadi penjaga warung makan, sekedar mencuci piring, gelas dan peralatan makan.
Begitu pun saat kuliah, belum banyak kampus yang melek dunia difabel. Saat aku kuliah di IAIN Salatiga, aku meminta perlakuan khusus tanpa ada instruksi resmi tentang mahasiswa difabel di kampus.Aku seperti berjuang sendirian diantara orang-orang non disabilitas dan kampanye kebutuhan difabel yang belum banyak. Belum ada internet menyatukan Indonesia saat itu, akses internet sangat sulit dan rasanya semua bidang pekerjaan membutuhkan pendengaran yang baik.
Lain hal dengan sekarang, sudah banyak kampus yang menyediakan slot khusus untuk mahasiswa difabel, lengkap dengan program-program untuk mengakomodasi kebutuhan khususnya. Pun pekerjaan, aku sangat terharu dengan adanya Undang-undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU No 8 Tahun 2016 menyebut regulasi tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan akses lapangan pekerjaan bagi difabel bagi instansi pemerintahan dan swasta. Instansi pemerintahan/ BUMN harus menampung difabel minimal 2%, sementara sektor swasta minimal 1%.
Adanya undang-undang ini menjadi angin segar bagi penyandang disabilitas. Grup-grup support difabel kini dipenuhi dengan informasi lowongan kerja khusus disabilitas. Enggak berhenti sampai disitu, support difabel juga terlihat di gerakan upgrade skill khusus difabel dan support start up difabel.
Berkat internet yang sudah menjangkau pelosok, kini aku bisa bekerja tanpa takut label bahwa aku adalah seorang Hard of Hearing. Sungguh, dulu saat bekerja menjadi kang cuci piring, aku enggak kebayang kalo seorang Hard of Hearing bisa bekerja dari rumah dengan mudah tanpa takut enggak denger. Internet menyatukan Indonesia, dari kota sampai pelosok, yang Dengar dan yang Tuli, Tunadaksa, Tunanetra….
Fasilitas Publik yang Ramah Difabel
Sejak dikeluarkannya undang-undang nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas, fasilitas publik pelan-pelan mulai dibangun dengan memperhatikan aspek kebutuhan difabel. Ubin trotoar khusus untuk Tunanetra, Juru Bahasa Isyarat di berbagai agenda publik untuk teman Tuli, akses bangunan yang ramah kursi roda dan tongkat untuk teman Tunadaksa.
Tidak instan, beberapa kali kami harus melayangkan protes karena fasilitas ramah difabel terkesan asal-asalan seperti ubin khusus Tunanetra di trotoar yang menabrak pohon, jalur khusus kursi roda yang terlalu curam, Juru Bahasa Isyarat yang tidak sesuai dengan kebutuhan teman Tuli.Tetapi, makin kesini, kami merasa bahwa pelan-pelan semua diperbaiki untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif.
Fasilitas publik yang ramah difabel tidak hanya di bidang pembangunan fisik, ahli teknologi dan instansi yang terkait, termasuk Telkomgroup, pun berlomba-lomba dalam merancang alat yang membantu difabel.Dulu aku sangat anti dengan segala hal yang berbau video, streaming, zoom meeting, karena aku akan kesulitan untuk membaca mulut.
Siapa sangka, sekarang ada aplikasi penerjemah speech to text yang mampu menerjemahkan suara ke teks dengan bahasa yang semakin beragam dan kepekaan yang semakin meningkat. Masih ada terjemahan yang kacau, memang, tetapi aku sudah sangat bersyukur dan aku akhirnya berani mengisi live streaming maupun mengikuti zoom meeting. Apalagi sejak pasang IndiHome, rasanya semua webinar ingin kusimak dengan bantuan webcaptioner atau live transcribe.
Kemajuan teknologi ini membuatku bisa berinteraksi dengan teman Tunanetra. Ya Allah rasanya speechless, teman Tunanetra menggunakan aplikasi text to speech untuk memahami ketikanku saat kami berkomunikasi, teman Tuli menggunakan webcaptioner ketika teman Tunanetra berbicara.
Seni Berinteraksi dengan Difabel, Menjadi Bagian Aksi Nyata Mewujudkan Sila Kelima
Dibalik hingar-bingar program pemerintah dalam mewujudkan Indonesia inklusif, akan sia-sia jika rakyat Indonesia enggak ikut andil dalam mewujudkannya. Vibesnya vibes hari kelahiran Pancasila banget, ya. Yha, mumpung jiwa patriot lagi menggedor-gedor, aku enggak capek untuk speak up terkait kebutuhan difabel ini.
Kadang-kadang, orang menjadi enggak ramah kepada difabel bukan karena dia orang jahat, tetapi karena tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan difabel, tidak tahu seperti apa orang yang membutuhkan perlakuan khusus.
Peran individu dalam mewujudkan Indonesia inklusif sebagai aksi nyata dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya teman-teman difabel, SANGAT PENTING. Justru peran individu menjadi kunci dalam mewujudkan Indonesia yang inklusif.
Enggak ribet, kok. Enggak harus menjadi volunteer atau aktivis sosial difabel, cukup menjadi dirimu sekarang yang lebih peka dengan keberadaan teman difabel. Kamu yang seorang PNS, jadilah PNS yang mampu melayani penyandang difabel dengan baik. Kamu yang seorang dokter, jadilah dokter yang melayani pasien difabel tanpa dengan sepenuh hati. Kamu yang seorang satpam bank, jadilah satpam yang peka dengan kebutuhan nasabah dan bersiap membantu sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebut Kami Difabel/ Disabilitas
Kami tuh bukan orang sakit. Ehm, kalau sakit kan biasanya ada harapan untuk sembuh. Kalau kami enggak… kami ya begini ini. Adanya harapan untuk meminimalisir kondisi kebutuhan khususnya, bukan harapan untuk sembuh dari kebutuhan khusus. Kalo menyebut kami sebagai orang sakit dan non disabilitas sebagai orang sehat, i can’t relate. Jadi, sebut saja kami disabilitas atau difabel, dan gunakan non disabilitas untuk mereka yang tidak memiliki kebutuhan khusus.
Jangan Bertanya Kenapa, Kecuali Kami Cerita
Pertanyaan yang mengungkit cerita dibalik kondisi disabilitas yang kami sandang, akan men-trigger trauma masa lalu, bahkan beberapa dari kami belum benar-benar sembuh dari trauma. Aku pribadi membutuhkan kondisi psikis yang stabil untuk bercerita kenapa aku bisa mengalami Hard of Hearing. Iya kalau kondisi psikisku bagus, kalau lagi berantakan… hmm, bisa-bisa aku sebal dengan kamu.
Ask, don’t Assume
Ask don’t assume adalah prinsip ADA dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Tanyakan kebutuhan kami, apakah ada hal yang bisa dibantu. Jangan membantu berlandaskan asumsi kita sendiri karena bisa jadi bantuan kita akan berbahaya untuknya.
Sesimpel ketika bertemu dengan orang yang memakai kursi roda, tanyakan kepadanya, “Apakah butuh bantuan untuk didorong?”, ketika bertemu dengan Tunanetra yang memakai tongkat, tanyakan saja, “Apakah butuh dibantu untuk menyebrang atau mencapai tujuan?”
Seorang dokter yang bertanya, “Bagaimana cara saya ngobrol dengan kamu?” kepadaku yang seorang Hard of Hearing, membuatku merasa benar-benar dihargai. Enggak jarang teman Disabilitas sudah mengutarakan bagaimana cara yang bisa kita lakukan untuk membantunya, lakukan saja apa yang ia minta.
Utarakan Pujian tanpa Kata ‘Meskipun…’
Iya sih, kami tahu jika kami spesial, kondisi kebutuhan khusus kami cukup berbeda. Tetapi pujian dengan menambah kata, “Meskipun penyandang disabilitas…’ justru malah membuat kami merasa orang-orang fokus dengan kondisi disabilitas kami, bukan fokus kepada prestasi yang telah kami buat. Jadi puji saja tanpa menambahkan kata meskipun penyandang disabilitas.
Posisikan Mata Sejajar, Terutama untuk Teman Tunadaksa
Kontak mata adalah hal yang penting dan membuat kami merasa dihargai dan diperhatikan dengan penuh. Selalu pastikan kontak mata sejajar, apabila sedang berinteraksi dengan teman Tunadaksa yang sedang memakai kursi roda, alangkah baiknya jika jongkok terlebih dahulu ketika berbincang.
Jangan Pisahkan Kami dengan Alat Bantu Kami
Ketika bercanda, tolong, jangan gunakan ketidakmampuan kami untuk bahan bercandaan. Pun, jangan sekali-kali memisahkan kami dengan alat bantu kami meskipun untuk bercanda. Sedekat apapun hubungan kamu dengan teman Disabilitas, menyembunyikan alat bantu sama saja melenyapkan dunianya.
Jangan sembunyikan kacamata teman-teman low vision, bisa jadi tanpa kacamatanya itu, ia tidak tahu jalan untuk pulang. Jangan sembunyikan Alat Bantu Dengar teman-teman Tuli, siapa yang tahu tanpa ABD kesayangannya ia merasa tersesat di dunia yang asing.
Hindari MengecekMengetes Kondisi Disabilitas
Masih melekat sangat kuat dalam ingatanku nama-nama orang yang pernah iseng mengetes kondisi pendengaranku, lalu aku ditertawakan seruangan ketika memang tidak bisa mendengar. Enggak hanya saat SD, saat sudah kuliah dan hidup bermasyarakat pun masih ada orang yang iseng ngetes memanggilku, lalu ketika aku keliru mereka tertawa keras.
Yha… Kenapa harus ngetes untuk meyakinkan orang sekitar jika kami ini difabel? Sungguh, ini sangat tidak lucu dan membuat mental kami ambyar. Kalau ketemu dengan orang semacam ini, tolong bantu diingatkan, ya.
***