Site icon Widi Utami

Refleksi| Semudah Membalik Telapak Tangan

Namun tak semudah membalik telapak tangan…

Status itu kutemui ketika aku membuka facebook dalam perjalanan pulang dari kampus. Status dari seorang sahabat yang mungkin sedang berusaha untuk melerai rasa kerinduan yang menghentak, tiba-tiba membuatku berfikir sembari menatap debu yang memenuhi jalan.

Mudah, jika sendi tangannya sehat.

Jika sendi tangannya kena penyakit? Ataukah sebut saja sedang terkilir barang beberapa jam. Pasti sakitnya luar biasa, pasti membalik telapak tangan membutuhkan perjuangan luar biasa. apalagi jika sendi tangannya digesper, whuaaah, jangankan membalik, menggeser tangan saja sakitnya (katanya) ampun-ampunan.

 

Apakah ada yang salah sehingga semua terasa sulit, tak semudah membalik telapak tangan. Apakah diri ini juga berlaku seperti sendi pergelangan tangan, yang apabila sendi itu sakit, terkilir membuat membalik telapak tangan butuh perjuangan besar?

Jika iya, mungkin ada yang salah dalam diri ini. Mungkin hatinya, mungkin pola pikirnya. Apakah hatiku tengah sakit? Apakah pola pikirku tengah dijajah?

Jika orang yang sendi tangannya sehat bisa membalik telapak tangan dengan mudah. Apakah karena hati mereka sehat, pola pikirnya yang merdeka sehingga masalah yang bagiku sangat sulit, bagi mereka enjoy-enjoy saja?

Kadangkala aku keheranan melihat saudara yang masalahnya sedemikian pelik, masih sempat berkirim sms kepadaku; Widi, abang yakin Widi bisa. Jangan nyerah.

Aku pernah menangis melihat tabahnya seorang ibu yang menggendong anaknya kesana-kemari, padahal ia pun harus menenteng barang bawaan karena anaknya menderita polio. Anak itu dua tahun lebih tua dariku, kutaksir berat badannya lebih berat sebab dia tergolong gemuk, hanya kakinya yang menyusut.  Namun ibu itu masih saja bertanya kepadaku; bagaimana kabarmu? Sekolahmu? Pertanyaan itu meluncur dari mukanya yang berseri, seolah tak ada beban dalam hidupnya.

Ah, ini rupanya jawaban atas kegelisahanku kali ini, kenapa mereka begitu tenang menghadapi masalah-masalah mereka. Kenapa mereka begitu mudahnya berujar; Allah Menghendaki ini terjadi. Ini kesempatan untuk naik kelas. Rupanya, rupanya karena hati mereka yang sehat, pola pikir yang tak terjajah.

Hati yang tak berfikir apa pendapat orang, yang mereka pikirkan hanya apa Allah ridha. Hati yang hanya berfikir kesalahan apa yang kulakukan, bukan kesalahan mereka. Apa yang telah kuberi, bukan apa yang aku dapatkan. Hati yang senantiasa terpaut dengan Robbuna… Setidaknya mereka berusaha untuk meluruskan niat, meski seringkali bengkok. Hati yang keren, yang kadangkala membuatku menangis sesunggukan saking irinya dengan ketenangan hati mereka, ketabahan mereka dalam menghadapi musibah yang bagiku sangat berat.

Allahu… ternyata mereka menghadapi masalah semudah membalik telapak tangan, karena hati mereka yang sehat.

Allahumma nawwir Qolbuna…

Exit mobile version