“Nikah itu, ya, semuanya ibadah. Nyuciin baju suami, ibadah. Senyum sama suami ibadah. Pegangan tangan ibadah. Cuma ngusap kepala istri aja, lho, ibadah. Siang malam isinya ibadah. Ibadah paling enak.” Jelas seseustadz di sebuah seminar, tidak lupa membeberkan tips agar segera menikah tanpa harus pacaran, komplit dengan ciri-ciri rumah tangga sakinnah-mawaddah-warahmah.
Dalam bayanganku kala itu, persis kayak selebgram Muzammil Hasballah yang mau cium tangan aja serba canggung. Blah! Emak K kok ternyata update jugak.
“Mau pergi ada yang nganter, tidur ada yang nemenin, punya pelindung, segala kebutuhan ada yang nanggung” jelas seseustadz, “Kurang enak apa jadi istri?”
“Suami pulang kerja, ada yang menyambut, menyiapkan minum, menyiapkan makan. Jalan-jalan berdua, kemana-mana berdua. MaasyaAllah…”
Gambaran ideal sebuah keluarga, istri melayani suami, suami memenuhi segala kebutuhan istri. Saling sayang, penuh cinta.
Tetapi, ada yang disembunyikan oleh seseustadz di seminar-seminar pranikah,
Seenak itu ibadah dalam pernikahan, disana ranjau-ranjau ujian bertebaran
Entah lupa, entah memang sengaja tidak disampaikan karena khawatir generasi muda jadi ketakutan untuk menikah. Maklum, seminar pra nikah biasanya menyasar dedek gemes agar menyegerakan menikah dalam usia muda daripada kelamaan pacaran.
Ujian di Tahun-tahun Pertama
Yai dhawuh, ujian paling berat biasanya di tahun pertama. Tahun berikutnya juga ada ujian, tetapi ujian berat saja.
Aku yang lagi ngaji sambil mengantuk cuma mlongo sambil ngebatin, “Ujian paling berat dan ujian berat saja, apa bedanya?”
Lain dengan seseustadz di seminar pranikah, Yai Nasrudin justru membeberkan betapa nikah itu enggak enak. Ngaji kitab saat itu fokus di adab perempuan sebagai istri. Dari yang enggak boleh ngobrol bebas dengan laki-laki lain, hingga kalau keluar harus seijin suami. Bahkan, beliau juga membeberkan hubungan rumit menantu-mertua dan periparan.
Waktu itu, aku sampai bilang,”Wah, enggak kebayang mau nikah dalam waktu dekat ini.”
“Kitab iki rampung, sampeyan nikah.” Jawab Yai. Aku cuma tersenyum. Jangankan menikah, laki-laki yang PDKT saja enggak ada. Eh, begitu kitab nyaris selesai, datang abah K yang langsung menerima tantangan untuk nembung langsung ke Bapak-Ibu, yang langsung disambut Yai karena istikharah menguat ke arah yang baik.
Seminggu sebelum aqad, abah K memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Kala itu abah K bekerja di warung bakso di daerah Banyumanik, Ungaran. Kisah pernikahan kami di awali dari nol, bahkan minus. Aku masih kuliah, abah K belum mempunyai pekerjaan tetap.
Konflik dimulai dari…
Keluarga yang belum memahami apa itu developper website, sinyal internet yang mendlap-mendlep enggak karuan, diperparah dengan kami yang baru saling mengenal.
Rasanya, tiada hari tanpa bertengkar.
Abah K kaget dengan sifatku yang mendominasi dan cenderung vokal. Maklum, di kampung, rata-rata istri sangat tunduk kepada suami, serba melayani suami. Aku kaget dengan abah K yang rasa-rasanya manja bener, dalam bayanganku kala itu, suamiku adalah suami yang mandiri. HAHAHA
Setiap kali abah K meminta tolong sesuatu, aku berangkat dengan bersungut-sungut, “Gitu saja minta tolong, sih, Kak.”
Di lain pihak, abah K memendam diri, “Kenapa Ayi kalau melayani sambil bersungut-sungut?”
Kami saling mengeluh, saling menuntut, lupa jika masing-masing membawa kebiasaan dari keluarga asal. Belum tetangga dan keluarga yang terus-menerus bertanya tentang pekerjaan abah K–yang lebih menjurus ke menuduh sebagai pengangguran daripada bertanya–, yang membuatku tertekan dan mendesak abah K melamar pekerjaan sekedar untuk meredam gunjingan. Kala itu, rasanya pernikahan yang bahagia hanya ada di negeri dongeng saja. Aku memilih untuk menyepi sendiri, abah K memilih untuk menyepi ke nDalem Yai.
Pentingnya Guru dalam Pernikahan
Posisi Yai dalam pernikahan kami terhitung sangat penting. Disaat kami diterpa masalah, kami lari ke Yai, bukan ke orang tua maupun mertua. Ya, aku dan abah K sepakat, Yai adalah tempat kami berkonsultasi yang ideal, tidak memihak. Bagi kami, Yai mampu memberikan pandangan terkait masalah yang menerpa kami tanpa memihak salah satu.
Kenapa bukan orang tua atau mertua? Karena orang tua atau mertua, dalam tahun-tahun pertama pernikahan adalah tantangan bagi pasangan baru, besar kemungkinan orang tua maupun mertua akan memihak anaknya sendiri.
“Angel ya nerapke hasile ngaji?” tanya Yai, retoris.
Aku hanya tersenyum malu. Sungguh sulit. Jika ujian sekolah bisa menyiapkan dengan latihan soal, waktunya juga terhitung jelas. Ujian kehidupan bisa mak bedunduk datang, enggak peduli apakah kamu siap atau enggak. Pun begitu, ujian kitab yang kupelajari dari Yai, langsung dengan kehidupan sebenarnya, bukan berupa soal-soal yang bisa dijawab dengan ingatan.
“Ora papa, anggep wae sinau.”
Ya, pernikahan ini bagiku adalah sekolah kehidupan. Kami belajar menyelami kepribadian masing-masing, menyatukan pandangan, menyesuaikan diri.
Empat Tahun Rasa Permen Nano-nano
Empat tahun ini rasa nano-nano. Aku membuktikan dhawuh yai, “Ujian paling berat ada di tahun pertama.” Bukan pada besarnya ujian, tetapi pada bagaimana kami menghadapinya bersama. Ibaratnya, di tahun pertama, untuk memutuskan mau makan ayam atau tempe saja kami harus gontok-gontokan adu emosi.
Semakin bertambahnya usia pernikahan, kami terus belajar untuk saling memahami, menyatukan pandangan, juga saling menghargai pendapat dan terbuka. Semoga semakin baik di tahun-tahun mendatang.
Terimakasih atas 4 tahun yang keren ini, Abah, juga tahun-tahun yang akan datang.