Contents
Scene 1
“Utami ki lho, wis tak celuki, ra minguk-minguk.” ujar seseibu kepada ibu di sebelahnya, padahal aku berada tepat di hadapannya sedang mengajak salaman.
Utami–panggilan kecilku– sudah kupanggil-panggil, tetapi tidak kunjung menoleh.
Tidak sengaja? Kukira tidak, ia mengucapkan perkataan tersebut setelah melihatku, kala aku sedang mengajaknya berjabat tangan.
Scene 2
“Woo, lha budheg!” katanya, diikuti tawa membahana. Kala itu aku tengah jajan di warung. Sakit? Aku keluar dari warung dan langsung menangis di jalan.
Scene 3
“Amit-amit jabang bayi!”
What the hell! Hahaha, baiklah, Bu, kudoakan dengan sepenuh hati agar anak di kandunganmu tidak mengalami cacat sepertiku, karena aku tahu ini berat, dan menjadi orang tua dari anak penyandang difabilitas itu tidak mudah. Kamu tidak bakal kuat, makanya aku doain. Kasihan kalau ada anak difabel punya orang tua macam kamu.
Scene 4
“Kuwi apa karmane pakne ya? Pakne Uut kan bla bla bla…” sungguh kutaktega menuliskan di sini, Alhamdulillah itu sudah menjadi masa lalu. Bapak kini sudah menjadi seorang ayah yang mengayomi, seorang kakek yang memanjakan cucu-cucunya.
Itu apa karma dari Bapaknya ya? Dalam hati aku menjawab, kalau memang karma, semoga anakmu tidak menanggung karmamu sebagai orang tua yang tidak bisa menjaga mulut. Masa ngomongin orang di depan orangnya, sih?
***
Hahaha, tetiba aku mendapatkan ide untuk membuat DeafRandomTalk. Banyak orang bertanya, bagaimana aku menjalani hari-hariku sebagai seorang Hard of Hearing, deaf, Tuli, Tuli parsial, atau apalah namanya, pokoknya tentang kehidupanku sebagai seorang anak manusia dengan gangguan pendengaran, dan aku ingin menuliskannya, kali ada yang bisa diambil hikmahnya.
Its Not About Can I Hear your Voice, Can I See your Face, Its About My Feeling
Aku yakin, tidak sedikit yang merasa aman berbincang membicarakan aib di hadapan Tuli, memasang muka meremehkan di hadapan Tunanetra, tetapi tahukah? Ini bukan perkara apakah aku bisa mendengar suaramu, apakah aku bisa melihat wajahmu, tetapi ini perkara feeling yang sangat peka.
Semacam ingin berkata, “Lo enggak tahu sih bagaimana kami sangat peka dengan gestur meremehkan, bahkan rasanya hidung kami bisa mengendusnya.”
HAHAHAHA.
Apalagi aku diberi kemampuan untuk membaca gerak bibir, langsung memicingkan mata begitu terendus ada yang sedang membicarakan. Kalau lagi enggak waras, biasanya aku menyumpahi, “Awas kowe!”. Kalau lagi waras, ya tersenyum saja dengan senyuman paling manis yang kumiliki.
WKAKAKAKA.
Astaghfirullah…
Istighfar, Mak. Istighfar.
So, please, jangan sembarangan membicarakan orang lain. Apalagi di hadapannya. Sekali pun dia Tuli atau Tunanetra, itu sangat menyakitkan, aplagi kalau sampai ada keluarga atau orang yang menyayanginya memergokimu sedang membicarakannya. Ehm, kalau menyakiti hati orang lain tidak bisa mencegahmu untuk mengerem mulut, ada malaikat Rokib dan Atid yang setia mengikutimu kemanapun kamu pergi.
Masa yo enggak sungkan?
Hayo malu sama Gusti Allah, kan?
Its Not About How Perfect You Are, its All About How Much You Say Thanks to Good
Menghina kami tidak akan membuatmu menjadi lebih sempurna. Sungguh. Mengata-ngatai kami dengan kata yang tidak pantas, tidak akan pernah menaikkan derajadmu di sisi siapapun, justru akan membuatmu jatuh-sejatuh-jatuhnya, terutama di mata kami–juga Tuhan.
Aku yakin, ini bukan tentang SEBERAPA SEMPURNANYA, ini hanya perkara SEBERAPA BERSYUKURNYA. Robbuna sudah Menyediakan apa yang aku dan teman-teman difabel butuhkan, termasuk menyediakan ‘pembungkam’ mulut yang jahil. Mungkin sekarang belum, semoga tidak di akhirat. Berat.
Kenapa bahasaku jadi sadis banget ya? :p :p
Hehehe, enggak apa, sih. Sekedar mengeluarkan uneg-uneg, yang semoga membuat sesiapapun tidak lagi meremehkan penyandang difabel.
Btw, ada yang usul random talk tema berikutnya, apa ya kira-kira yang harus aku tulis tentang dunia deaf dan difabel?