Site icon Widi Utami

Perjalanan Belum Usai-Catatan Akhir Level 1 Kelas Bunda Sayang

Perjalanan Belum Usai

Perjalanan Belum Usai

Level 1 Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang sudah usai, namun pejalanan masih panjang. Aku tidak mentargetkan banyak, hanya ingin menulis 10 hari tanpa jeda. Namun, nyatanya toh, cobaan selalu ada, menguji kebulatan tekad penerapan Komunikasi Produktif dalam keseharian.

Minggu pertama berjalan on the track. Aku menulis 8 hari berturut-tuut disela-sela deadline dan momong si K. Aku berhenti menulis ketika terjadi perbedaan pendapat dengan abah K. Bagi abah K, cara menulisku terlalu vulgar, bisa menyebabkan orang tua lain iri,kok anakku enggak kayak si K ya?

Aku diam. terkejut, berusaha mencerna kata-kata abah K.

Abah K juga mengkhawatirkan kalau tulisanku tentang komunikasi produktif dengan si K disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, bagaimana jika mereka merayu si K karena sudah hafal pola komunikasi kami.

Aku menimbang-nimbang lama. Membiarkan ia mengendap untuk kemudian membicarakannya di lain waktu. Ujian Komunikasi Produktif dengan pasangan, ya? Jika dulu aku langsung menjawab dengan cecaran argumen dan emosi, sekarang aku menungu emosiku stabil dulu sebelum mengajak abah K diskusi.

Cepet? Enggak lah, lama. Satu minggu lebih, sampai-samai aku harus merapel karena belum tercapai kesepakatan tentang batasan bercerita mengenai si K di media sosial. Hingga di detik-detik terakhir, abah K berkata, “Boleh cerita garis besarnya saja, tidak perlu sedetail itu.”

Kadangkala, Kenyataan Tidak Seindah Teori

Di Kelas Bunda Sayang level 1, kami belaja bagaimana berkomunikasi dengan diri sendiri, pasangan, anak dan orang lain. Ada beberapa kaidah yang dikenalkan. Saat membacanya, aku mengangguk-angguk, membayangkan hari-hariku akan mudah jika menerapkan komunikasi produktif ini.

Kami belajar bagaimana berkomunikasi dengan diri sendiri. Menggunakan kata-kata yang positif agar diri kita ikut dalam aura positif. Aku belajar bagaimana menghargai diri dengan telinga yang istimewa. Telinga boleh kurang, syukur harus paripurna. Aku Tuli, Bisa. Ibu Tuli bisa berkomunikasi produktif dengan anak semata wayangnya. Memang, tidak selamanya kata-kata positif keluar, namun ketika berkata negatif, tidak akan lama. Cenderung mudah mengganti kata negatif dengan kata positif ketika emosi mulai stabil.

Mengubah kata-kata yang berkonotasi negatif menjadi positif adalah tantangan besar. Manakala mendapati masalah, lebih baik diganti dengan tantangan. Mendapati hal-hal yang susah, diganti dengan menarik. Mendapati ketidak tahuan, diganti dengan ayo cari tahu. Gampang enggak? Rumangsamu. Emak K saat menerapkan ini justru diuji dengan agency yang menyebalkan sekali, eh, menantang sekali. Hahaha, silahkan tertawa puas.

Berkomunikasi dengan pasangan yang selama ini kupikir baik-baik saja, ternyata masih ada beberapa hal yang perlu kami upgrade. Diskusi di kelas membuat syukurku membuncah, komunikasi kami baik dengan Quality Time yang terjaga. Menyatukan Frame of Reference (FoR) dan Frame of Experience (FoE) adalah hal yang paling sulit, eh menarik, tetapi justru menjadi hal yang paling penting. Membuat FOE/FOR-ku dan FOE/FOR-mu menjadi foe/FOR kita. Abah K bukan orang yang mudah percaya dengan ‘katanya’. Butuh waktu cukup lama untuk menyepakati kalau anak laki-laki harus mandiri, enggak boleh dilayani dengan istimewa. Butuh waktu yang cukup panjang bagiku untuk menerapkan dalam kesehaian bahwa anak pantang diancam.

Ada 5 kaidah pokok untuk berkomunikasi dengan pasangan. Clear and Clarify, sesiapa yang suka kode-kdean, siap-siap saja tersesat di rimba emosi. Katakan apa yang kita inginkan, enggak perlu sindir-sindiran. “Bah, tuh hape tolong dimatiin dulu, ada Ayi disini.”. Poin ini ditiru plek oleh si K, doi langsung protes jika ada yang tidak berkenan di hatinya,”Ibuk, tolong ojo hapene wae. Main kayo Kepin wae.”

Choose the right time. Ambil waktu yang tepat untuk berbicaa dari hati ke hati. Yai dulu pernah dhawuh, pantang mengutarakan masalah ketika suami terlihat lelah. Apalagi sedang pulang kerja dengan wajah menunduk, pantang kita cecar dengan masalah-masalah yang kita alami sehari-hari. Waktu terbaik untuk berbicara dengan suami berbeda pada setiap pasangan.

Kaidah 7-38-55, verbal hanya bekontribusi 7% dalam komunikasi, diikuti 38% emosi dan 55% bahasa tubuh. Ini masih menjadi PR untukku, ya begitulah perempuan, kalau PMS emosinya bisa berantakan ngalah-ngalahin puting beliung. Kontak Mata yang Intensif menjadi poin penting dalam komunikasi kami. Hp menjadi benda paling haram dilihat saat kami tengah berbincang. Kaidah terakhir, I’m responsible for my communication results. Bertanggungjawab dengan penyampaian pesan lawan bicara. Kalau ini tantangan terbesar ada di abah K yang mempunyai istri dengan pendengaran istimewa. Aku sendiri pun harus memaklumi ketika abah K terlihat kesal karena au tak kunjung paham. Hehehe.

 

Sudah 669 kata, Komunikasi dengan anak mungkin harus kubuat dengan blogpost terpisah. Kelas boleh sudah usai. Teori boleh hafal nglothok. Namun, perjalanan panjang masih jauh diujung. Seumur hidup, hingga habis jatah usia kita.

Ya, aku menyadari jika seringkali kenyataan tidak seindah teori, tetapi setidaknya kita punya kendali mau dibuat seperti apa hubungan kita dengan suami, anak-anak dan orang lain.

Exit mobile version