Site icon Widi Utami

Pelajaran 28 Tahun Menjadi Seorang Hard of Hearing, Bukan tentang Seberapa Sempurnanya Kita

Pelajaran 28 Tahun Menjadi Seorang Hard of Hearing, Bukan tentang Seberapa Sempurnanya Kita

Pelajaran 28 Tahun Menjadi Seorang Hard of Hearing, Bukan tentang Seberapa Sempurnanya Kita

Menjadi seorang Hard of Hearing atau Tuli separo. Wkakakaka, abaikan julukan terakhir, kulalui dengan naik turun. Tahun-tahun awal SD, awal SMP dan 3 tahun di SMA adalah tahun-tahun yang sulit, kepercayaan diriku anjlok berada di bawah.

28 tahun menjadi seorang Hard of Hearing, aku belajar bahwa untuk bahagia kita tidak membutuhkan hal-hal yang sempurna.

Perkenalan Selalu Membutuhkan Energi yang Besar

Setiap kali memasuki komunitas baru, perkenalan selalu menjadi hal yang berat dan membutuhkan energi yang besar. Aku harus menyiapkan benar-benar, lalu pulang dengan kondisi fisik dan psikis yang benar-benar lemas karena terkuras.

Mengenalkan diri sebagai seorang Hard of Hearing enggak mudah, sampai sekarang. Meskipun sudah 28 tahun menjalani hari-hari sebagai seorang perempuan HoH, aku masih dibayangi kekhawatiran-kekhawatiran yang bercampur dengan trauma.

Khawatir jika orang lain enggak bisa menerima kondisiku yang membutuhkan perlakuan khusus. Khawatir jika orang yang kuajak bicara menjadi ill feel. Khawatir jika diremehkan orang lain. Khawatir jika ditertawakan dan dianggap lemot, kayak kenangan masa kecilku.

Namun, semakin kesini aku belajar jika perlakuan-perlakuan yang enggak enak itu kuterima umumnya karena mereka tidak tahu. Tidak tahu jika aku Tuli dan tidak tahu bagaimana memperlakukan seorang Tuli. Meskipun memang ada orang-orang toxic yang meremehkan difabel, namun itu jumlahnya hanya 1 diantara 100 orang yang positif memandang keberadaan difabel.

Yang harus kulatih terus-menerus adalah keberanian untuk speak up tentang kondisiku. Yha… meski naik-turun, mood-moodan, tetapi semua itu wajar di dalam kehidupan, kan. Heuuu

Menyempurnakan Apa yang Kurang Tidak Menjamin Kita Bahagia

Jaman SD aku terkena Cinderella Syndrom, ngebayangin kalau Allah Ngasih keajaiban menyembuhkan telingaku, maka aku akan happily ever after, orang-orang yang meremehkanku akan malu, orang-orang sekitar akan lebih menghargaiku, aku akan menjadi orang yang keren karena pendengaranku sudah sempurna.

Aku mencari berbagai pengobatan dan medis. 21 tahun pencarian dan ikhtiarnya. Dari yang masuk akal hingga yang enggak masuk akal babar blas. Dari yang medis ilmiah sampai bau-bau mistis. Dari yang logis sampai ritual semacam suwuk.

Capek? Pasti, tetapi ternyata hasilnya nol prutul. Alat Bantu Dengar enggak begitu membantu, aku tetap harus membaca gerakan bibir. Ngabisin waktu dan ngabisin tenaga. Umur 24 tahun, saat abah K menawari untuk ikhtiar lagi ke dokter spesialis THT di Jakarta atau Sardjito, aku menolak mentah-mentah.

Dengan waktu ikhtiar yang panjang sampai 20an tahun dan belum ada perkembangan berarti, aku melewatkan hari-hari untuk mengembangkan diri. I choose to upgrade my self, daripada menyembuhkan diri yang belum terlihat harapannya. Bahkan dokter pun memintaku untuk menerima. 

Aku bahkan pernah membuat simulasi, bagaimana jika memang Allah Mengijinkan pendengaranku sempurna, apakah aku bisa seproduktif sekarang? Untuk apa telinga yang pendengaran sempurna itu nantinya? Apakah akan kugunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik? Apakah akan membuatku semakin bersyukur?

Nyatanya, toh. Aku bahkan enggak berani menjawab untuk apa telinga yang pendengarannya sempurna itu nantinya. Dus… aku enggak lagi bisa menggunakan alibi telinga yang enggak support untuk mangkir dari segala telepon atau webinar. Hahahaha

Pikirkan Apa yang Bisa Dilakukan dengan Keadaan Seperti ini, Bukan Apalagi yang Ditempuh untuk Menyempurnakan Diri

Ini sungguh salah satu pelajaran termahal. Ada air mata, kemarahan, kekecewaan, trauma yang menghiasi langkah. Entah berapa lama waktuku yang habis untuk menangisi diri, merutuki nasib yang ‘terlihat’ sial bertubi. Sudahlah enggak denger, lingkungan terlihat enggak support.

Padahal, makin kesini aku menyadari, lingkungan yang enggak support juga karena aku yang enggak speak up tentang kondisi dan kebutuhanku. Enggak mengatakan kepada mereka bagaimana perlakuan yang kuharapkan.

Sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana memaksimalkan apa yang kupunya sekarang dengan keadaan yang seperti ini. Bukan lagi merutuki diri, berandai-andai jika telingaku enggak terbatas seperti ini setiap kali menemukan penghalang untuk maju.

Dulu aku mutung enggak mau kuliah hanya gara-gara cita-cita yang kuharapkan enggak memperkenankan penyandang Tuli. Hambok bayangin orang yang lagi depresi konsultasi ke psikolog Tuli? Hahaha, sekarang aku bisa menertawakan kekonyolanku, dulu aku mengumpat mati-matian dengan syarat kuliah psikologi.

Tidak perlu menunggu sempurna untuk bahagia, tidak perlu menunggu nanti untuk mengembangkan diri, lakukan dengan apa yang ada sekarang, semesta akan bekerja dengan ijin-Nya.

 

 

Exit mobile version