Site icon Widi Utami

Pandemi Mendepakku dari Zona Nyaman; Sebuah Catatan Ibu Tuli

Sebuah Catatan Ibu Tuli

Sebuah Catatan Ibu Tuli

Sebelum pandemi, kehidupanku yang menyangkut pendengaran terasa baik-baik saja, paling-paling cuma enggak bisa dipanggil, enggak bisa telepon doang. Aktivitas lain masih lancar, komunikasi dengan orang lain mengandalkan membaca mulut. Hidupku baik-baik saja,paling galau kalau di-rasani budheg.

Pandemi datang, kehidupan serasa runtuh, semua orang memakai masker. Bagaimana aku akan menjalani hari-hari? Awal 2020 terasa gelap. Paranoid covid-19 sekaligus enggak siap semua orang memakai masker. Aku menghindari keluar selain karena khawatir tertular, juga karena sangat menakutkan menghadapi semua orang memakai masker.

Masa-masa Denial dan Menyalahkan Keadaan

Aku menyalahkan covid-19, yang sampai sekarang masih menghantam Indonesia. Aku menyalahkan abah K karena ia tidak mau membantuku, ia menuntutku untuk menghadapi dan speak up ke dunia tentang kebutuhan Tuli. Aku juga… menyalahkan Robbuna yang Menciptakan segala isi dunia, why You make this so hard for me?

Aku denial. Menunda semua urusan. Urusan belanja aku switch ke online  yang enggak perlu bercakap dengan orang lain. Menolak semua permintaan zoom meeting. Memaksa abah K untuk menggantikan tugasku menghadapi dunia luar. Aku bungkam, bercakap hanya saat di rumah, terbatas dengan keluarga.

Aku berharap bahwa covid-19 tidak akan lama dan kehidupan akan segera kembali seperti biasa. Tidak ada usaha, tidak ada inisiatif untuk berbuat sesuatu agar keluar dari kegelapan yang sedang menimpaku. Skeptis. Pesimis. Covid ternyata sempat membuatku tidak mengenal diriku sendiri.

Tetapi, sampai kapan akan terus begini? Sementara tidak ada titik terang kapan pandemi berakhir dan masker-masker itu tinggal pajangan.

Dipaksa Menghadapi Zona Baru

Aku masih mengingatnya dengan sangat detail. Pagi itu cerah, abah K memaksaku untuk mengambil uang di rekening BNI sendirian, ia hanya mengantar sampai depan kantor bank di dekat Pasar Rasamala, Banyumanik. Semua orang memakai masker, tidak terkecuali satpam dan petugas bank.

Ragu aku memasuki kantor bank. Dongkol hati ini ke suami yang enggak mau mendampingi. Jantungku berdetak kencang, nervous ini serasa mengulang nervous-ku saat sidang ujian skripsi. Aku masuk, sapaan satpam tidak kubalas. Mau kubalas apa jika aku tidak tahu apa yang ia ucapkan?

Aku berdiri sejenak, tidak banyak orang di dalam. Kukeluarkan buku dan pena, menulis untuk pak Satpam. Kutahan benar-benar rasa malu, sungguh, aku masih malu mengakui ke orang yang tidak kukenal jika aku ini Tuli, takut diremehkan, takut diejek.

Utas Twitter tentang Pengalaman di Bank

Tidak kusangka, satpam menanggapinya di luar ekspektasiku. Ia menulis di bukuku, memintaku untuk menunggu. Tidak sampai disitu, ia juga mendampingiku saat aku berada di teller. Satpam ini meruntuhkan pikiran burukku kepada Robbuna, masih banyak orang yang memiliki empati tinggi, masih banyak orang yang mengapresiasi.

Aku berterimakasih kepadanya dengan sungguh. Lalu menuliskan pengalamanku di Twitter. Utasnya bisa kamu baca di Pengalaman Tuli di Masa Pandemi. Tidak kusangka, cuitanku viral. Aku menerima banyak, bahkan sangat banyak pesan, yang mengatakan jika selama ini tidak terlintas dipikiran jika ada Difabel Tuli yang terdampak pandemi.

Tidak terkecuali sesama Difabel Tuli, pesan-pesan tentang betapa pandemi ini menyulitkan komunikasi memenuhi ruang private message. Puncaknya, aku dihubungi oleh pihak BNI, mengabarkan jika Pak Kurniawan, satpam yang telah membantuku itu mendapatkan penghargaan.

Enggak cukup sampai disini, utas twitter itu tertampang di lambeturah, media-media menyebarkannya, lalu seorang kakak senior pramuka menghubungiku, bahwa apa yang telah kusampaikan dijadikan pijakan untuk memperbaharui SOP di perusahaan satpam tempatnya bekerja.

Liputan Media tentang Pengalaman di Bank

Aku terharu. Diam-diam aku berterimakasih kepada abah K, ia memang sudah berulangkali memaksaku untuk berani keluar, speak up. Yha… meski masih ada baper-bapernya karena memang jauh lebih praktis jika ditemani dibanding mengurus sendiri.

Titik Balik Semangat untuk Terus Bergerak

Pengalaman di bank menjadi titik balik untuk terus bergerak. Aku berusaha untuk tidak lagi malu mengatakan jika aku Tuli dan butuh layanan khusus di berbagai tempat. Iya, masih berusaha karena memang masih ada malu-malunya. Masih ada rasa takut untuk merepotkan.

Perjalanan ini tentu tidak mulus. Komentar orang-orang yang tidak menyukai langkah yang kami tempuh tentu ada dan kami memilih untuk mengabaikannya. Aku fokus bergerak, ikhtiar hingga titik maksimal. Kadangkala harus mengerem, bahkan mundur sejenak, tetapi itu tidak menghentikan aku untuk terus bergerak.

Juga… menyediakan waktu untuk elajar meningkatkan skill sebagai wujud syukur atas empat panca indera lain yang masih berfungsi dengan sangat baik.

Pandemi masih berlangsung hingga hari ini. Alih-alih mengeluh karena betapa banyak kegiatan yang tidak bisa dilakukan di saat pandemi seperti ini, aku memilih untuk tetap bergerak meningkatkan skill dan produktivitas. Aku kembali memungut mimpi-mimpi yang terserak…. mengembangkan kembali usaha digital yang sempat vakum, menghubungi kembali teman-teman yang dulu sempat bekerjasama untuk mengisi konten, salah satu diantaranya adalah teman Tunanetra.

Tawaran untuk berkolaborasi kusambut dengan semangat jika tawaran tersebut sejalan dengan visi dan misi hidupku. Berbagai komunitas untuk difabel kuikuti. Aku mengatur jam untuk produktif. Setiap kali ada tawaran pekerjaan yang tidak bisa kulakukan, aku tidak menolak, tetapi mengalihkannya kepada teman lain di bawah pengawasanku. Saling bergandengan tangan, saling menguatkan melewati hari-hari pandemi, saling berbagi kebahagiaan.

Yang tampak gelap sekalipun tetap ada hal yang menakjubkan. Tugas kita hanya terus bergerak, menyibak jalan-jalan yang telah Disediakan oleh-Nya. Merdeka dari kegelapan pikiran dan prasangka.

***

Tulisan ini dibuat untuk menyemarakkan Lomba Konten Kreatif; Merdeka di Tengah Pandemi, yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional Semarang. #SemarakKemerdekaan #IbuProfesional Semarang #LombaKontenKreatif IP Semarang #HutRI76 #KeluargaBahagiaKeluargaMerdeka #SemestaKaryauntukIndonesia #RCIPSemarang #MerdekaBerkarya

Exit mobile version