Rupanya si K sudah mulai aware tentang cita-citanya. Suatu hari, ia cerita dengan lantang jika ia ingin menjadi pemain sepak bola. Aku bertanya, siapa gerangan pesepakbola yang ia sukai. Si K menjawab dengan mantab: Ronaldo. Aku lantas teringat jika Ronaldo pecahkan rekor di laga awal Al-Nashir Musim 2022/2023. Enggak tanggung-tanggung, ia memecahkan 2 rekor langsung.
Sejujurnya aku awam bola. Aku enggak hafal nama-nama pemain sepakbola. Jangankan nama pemain, aturan sepakbola pun aku enggak paham sama sekali. Namun, karena si K menyukai sepak bola dan ingin menjadi pemain bola, aku menyempatkan diri untuk baca-baca speakbola.com agar bisa nyambung dengan si K.
Reaksi Pertama Ketika Anak Mengutarakan Cita-citanya
Sepertinya sudah setting default-nya orang tua ketika anak mengutarakan cita-citanya, orang tua akan langsung berfikir akan menjadi seperti apakah kehidupannya nanti? Apakah cita-citanya bisa memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya kelak?
Iya kalau ia menjadi seorang pemain sepakbola yang terkenal seperti Ronaldo. Namun, aduh, hati kecilku diam-diam bingung. Aku masih berusaha memastikan kepada si K, apakah benar cita-citanya menjadi pemain sepakbola. Sejauh ini aktivitas si K tidak bersentuhan dengan sepakbola. Ia lebih bergairah dengan gaming dan matematika.
Cita-cita menjadi pemain sepakbola memang di luar prasangkaku. Selama ini si K sangat tertarik dengan coding seperti abahnya. Pernah berubah sekali, ingin jadi TNI, katanya. Suatu waktu, tiba-tiba ia curhat, “Ibu, aku enggak mau jadi TNI, aku takut kalau salah sasaran tembak.”
“Kevin beneran mau jadi pemain sepakbola?” tanyaku, hati-hati.
Si K mengangguk mantab. “Aku suka sepakbola, Ibu.”
Aku mengangguk-angguk. “Oke, karena Kevin pengen jadi pesepakbola, berarti Kevin harus melatih tubuh agar tambah kuat dan lentur. Aktivitas fisiknya harus dilatih. Enggak boleh terlalu lama rebahan main hape.”
Trik jitu menjadikan cita-citanya sebagai alat untuk membatasi main hape. “Satu lagi, Kevin, pemain sepakbola selain harus kuat juga enggak boleh punya mata minus. Salah satu penyebab mata minus adalah main hape tanpa batasan.”
Balik lagi, cita-cita jadi tameng untuk membatasi main hape. Hahaha. Aku berusaha keras untuk tidak menampakkan kekhawatiranku tentang masa depan pemain bola. Kelak jika si K baca blogpost ini, semoga ia sudah menemukan versi terbaik dirinya.
Ketika Cita-cita Anak tidak Seperti Ekspektasi Orang Tua
As a parent, aku sering bercerita kepada si K tentang profesi-profesi yang bisa ia pilih. Seingatku aku belum pernah cerita tentang pemain sepakbola. Buku-buku terkait cita-cita juga enggak ada yang membahas tentang pemain sepakbola. Keluarga kami tidak ada yang menyukai bola. Nonton bola pun paling jika ada tim Garuda yang bertanding di final.
Melihat si K bercita-cita ingin menjadi pemain sepabola tentu saja sedikit mengejutkan. Tidak ada bayangan di otakku bagaimana kehidupan seorang pemain sepakbola. Sebagai orang tua, aku tidak ingin memaksakan ekspektasiku kepada si K.
Aku ingin anakku menjadi versi terbaik dirinya.
Aku hanya mengarahkan apa yang harus si K lakukan jika ingin menjadi pemain sepakbola. Hanya aku mengajak si K diskusi kalau perjalanannya masih sangat panjang. Ilmu-ilmu yang harus ia serap masih sangat banyak dan jangan hanya menyerap tentang dunia sepak bola saja. Ia harus memaksimalkan pencariannya hingga ia bisa menemukan versi terbaik dirinya.
Bahkan, Ibu di usia 31 tahun saja masih mencari. Belajar satu demi satu. Mencoba satu persatu hingga ketemu apa yang terbaik untuk Ibu. Jaman terus berubah, kita tidak boleh berhenti belajar. Seorang muslim wajib belajar hingga liang lahat.