Site icon Widi Utami

Napak Tilas Lintas Generasi Nusantara di Jogjakarta

Jogja seolah punya daya magis yang membuat kami rindu untuk kembali. Ia menjadi salah satu tempat untuk pulang dari kepenatan mengejar deadline dan menghadapi segala problematika hidup. Ia menyajikan ketenangan sekaligus pengeling darimana kita berasal.

Jogja menjadi salah satu tempat terbaik untuk menengok kilas balik sejarah. Gagahnya suku Jawa yang tersirat di batuan andesit candi-candi, wibawanya kerajaan Mataram Islam di sepanjang Malioboro, perseteruan Belanda dan Mataram Islam terekam di balik menjulangnya peninggalan Kolonial yang ‘mengganggu’ tata kota Malioboro, Benteng Vedenburg.

Contents

Prambanan dan Mitos yang Melingkupinya

Siluet pasukan pilih tanding berkelindan di pelupuk mata ketika kaki menjejak lorong menuju Prambanan. Suara Bapak saat mendongeng masih kuingat dengan jelas, “Raja awujud buta mau mati kena panahe Bandung Bandawasa.”. Aku mempercepat langkah menyusul si K dan abahnya. Siluet senja semakin menambah moleknya Prambanan. O, Candi yang dikenal sebagai prasyarat nikah putri molek bernama Roro Jonggrang.

Napak Tilas Candi Prambanan

” Sira bhakti ta bhaktita weh ksunika samapta dening angutus inatus magawai sagupura parhyangan aganitanggana
ta pacalan … “

Aku menemukan selarik keterangan ketika berusaha mencari sejarah Prambanan, yang ternyata jauh dari mitos yang melegenda. Kutipan dari salah satu bait prasasti Siwagraha merupakan sebuah narasi tentang pembuatan candi dan gapura yang dikerjakan oleh beratus-ratus pekerja pada masa Rakai Pikatan, 850 Masehi. Menyimpan perjuangan lintas generasi Raja, sempat terlantar ketika Mpu Sindok memindahkan Ibu Kota Mataram ke Kediri, Jawa Timur.

O Candi nan indah lengkungnya manakala di sapa siluet senja. Aku mengitari candi bersama si K yang tidak henti bertanya. Mengagumi betapa tingginya selera nenk moyang hingga menghasilkan mahakarya tanpa tanding. Pahatan-pahatannya, lengkung simetrisnya ….

Meneladani Toleransi Keraton Ratu Boko

Aku mengagumi selera Rakai Panangkaran dalam memilih tempat untuk menyepi. Ratu Boko berada di puncak bukit. Sepanjang mata memandang, hamparan hijau membentang. Aku menyusuri jalan setapak dengan senyum yang terus mengembang. Si K digendong abahnya di pundak.

Napak Tilas Keraton Ratu Boko

Di bawah pohon besar, aku berhenti sejenak. Menikmati Gerbang Keraton Boko dari kejauhan. Alangkah indahnya, alangkah anggunnya, seolah berkata kepada sesiapa yang datang mengunjunginya, “Sugeng rawuh. Selamat datang. Selamat menikmati kedamaian.”

Didirikan oleh Rakai Panangkaran yang merupakan Budha taat, di komples Keraton Ratu Boko terdapat unsur Dewa Siwa yang merupakan Dewa agama Hindu. Keberadaan Lingga dan Yoni, Arca Ganesha dan sebuah lempengan emas yang bertuliskan “om Rudra ya namah swaha” yang merupakan pemujaan terhadap Dewa Rudra–Dewa Siwa–, membuktikan bahwa toleransi sudah mengakar kuat di bumi pertiwi sejak masa Hindu-Budha.

Kami datang menjelang dhuhur saat itu, matahari tepat di atas kepala. Silau. Meskipun udara sejuk, rasa-rasanya tetap lebih nyaman menikmati Keraton Ratu Boko kala menjelang Senja atau saat matahari baru saja terbit.

Kawasan Malioboro dan Canggihnya Tata Kota Mataram Islam

Aku menikmati jalan-jalan di Malioboro kala matahari sudah sembunyi di peraduannya. Malam menjadi lebih ramai dengan hingar bingar Malioboro, dari angklung hingga tawar-menawar di sepanjang jalan. Kami menikmati ronde dan naik delman di sepanjang kompleks.

Jika kita perhatikan, di kawasan Malioboro – Alun-alun – Kraton, bangunan terbagi menjadi dua gaya. Gaya Kerajaan Mataram Islam yang sederhana dan membumi dan gaya Belanda yang menjulang tinggi. Tata Kota Mataram Islam penuh filosofi budaya.

Jalinan 4 ikon kota Yogya, dari Keraton-Masjid Gedhe-Pasar Gede dan Alun-alun menggambarkan Catur Gotro Tunggal yang dalam konsep Jawa adalah penyatuan makro kosmos dengan mikro kosmos, pola kepemimpinan keraton yang mengacu pada religi (masjid), ekonomi (pasar gedhe), dan budaya (alun-alun).

Benteng Vredeburg dan Masuknya Pengaruh Hindia-Belanda

Vredburg awalnya dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I atas permintaan Gubernur wilayah Pantai Utara Hindia Belanda, Nicolas Harting.Benteng Vredeburg awalnya dibangun dengan sangat sederhana, hingga kemudian pada masa Gubernur Van Ossenberg, benteng dibangun dengan lebih gagah dan permanen dengan alasan agar lebih aman. Padahal itu bertujuan agar lebih mudah mengawasi kawasan Kraton.

Hingga tahun 1942, Benteng Vredeburg meskipun tanahnya milik kraton, namun penggunaannya secara penuh digunakan oleh Hindia-Belanda. Hindia-Belanda pada masa itu sedang gencar-gencarnya menampakkan daerah kekuasaan, makanya di dekat benteng cukup banyak bangunan menjulang tinggi bergaya Belanda.

Awalnya kawasan Kraton dibangun dengan konsep sumbu imajiner yang menghubungkan pantai Selatan-Panggung Krapyak-Kraton-Tugu Jogja- dan Gunung Merapi, namun Belanda mengobrak-abrik semuanya dengan membanngun bangunan yang membelakangi kraton. Bahkan Belanda sengaja membangun lintasan kereta api yang memotong sumbu imajiner tersebut.

***

Hmm, seru ya kalau jalan-jalan ke Jogja sambil belajar sejarahnya. Kita bisa belajar banyak dan mengambil hikmahnya. Belajar ketelatenan Rakai Pikatan dalam membangun Prambanan, belajar toleransi yang membumi dari Rakai Panangkaran di Keraton Ratu Boko, belajar bijaknya Sri Sultan memimpin Jogja dengan menyatukan religi, ekonomi dan budaya…. juga, belajar kewaspadaan atas kelicikan Belanda. Maksudku jangan meniru kelicikan Belanda. Hahaha.

Keempat tempat itu, apa mau dikebut dalam sehari? Please, jangan. Jarak Prambanan dan Keraton Boko yang berada di Sleman dengan Malioboro memakan waktu nyaris 1 jam. Capek kalau diturutin. Mending mencari penginapan di dekat kawasan Malioboro. Kalau datang rombongan, banyak kok villa murah yang bisa kita pilih di Traveloka.

Emak K kalau liburan gini enaknya pakai Traveloka. All in one, dari moda transportasi, hotel hingga tiket masuk. Pada tahu kan Traveloka Experience yang bisa kita gunakan untuk berburu tiket masuk di Prambanan, Keraton Ratu Boko, Kidszonaa Hartono Mall dan tempat-tempat yang lain.

Kabar baiknya, Traveloka sekarang menyediakan fitur Paylater, yang bisa kita gunakan untuk booking dengan pembayaran dicicil belakangan. Fitur Paylater Traveloka didukung oleh Danamas dalam pengawasan OJK, jadi penagihannya enggak seserem pinjol tanpa pengawasan OJK.

Ada juga Pay@hotel yang memungkinkan kita membayar langsung ketika sudah sampai di hotel. Biasanya emak k memanfaatkan fitur ini ketika hanya membawa uang cash atau ragu dengan lokasi hotel dan berniat untuk melihat-lihat dulu.

Selamat berlibur, selamat menikmati Jogja dengan segala keramahannya. 💞

 

Adrisijanti, Inajati (ed). 2009. MEMBANGUN KEMBALI PRAMBANAN. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta

Exit mobile version