Site icon Widi Utami

Mereka Bilang Aku Tuli; Menoleh Sejenak Ingatan Terdalam

Mereka Bilang Aku Tuli; Menoleh Sejenak Ingatan Terdalam 1
Fragmen Satu

Siang itu lebaran, entah lebaran hari ke berapa.Gerimis menyapa. Aku tengah menunggu Mbak di teras rumah tetangga. Ketika kulihat Mbak muncul bersama Bulik, aku langsung melesat, berlari menyusul Mbak. Tak dinyana, aku terpeleset membentur jalan miring, tepat di telinga kanan. Tak banyak detail yang kuingat, ingatan yang paling lekat adalah, aku sudah berada di gendongan Ibu dengan kondisi telinga yang nyeri yang meninggalkan bekas telinga robek hingga sekarang.

Orang-orang mulai berbisik setiap kali berjumpa denganku, “Uut budheg.”

Cerita ini selalu kuceritakan ke orang yang bertanya kenapa aku bisa menyandang tunarungu. Meski masih simpang siur peristiwa ini lah yang menjadi penyebab ke-tunarungu-an, karena nyatanya kedua telingaku mempunyai ambang batas pendengaran di bawah normal, tetapi setidaknya orang-orang tak lagi penasaran.

Fragmen Dua

Seorang nenek berambut putih tetiba menunjuk-nunjuk ke arahku dengan mata melotot tatkala aku tengah berjalan ke tengah jalan karena menghindari ulat alpukat. Aku yang tengah berjalan seorang diri mengenakan seragam pink kebanggaan TK di kampung, tergeragap, menoleh kebingungan, hingga aku menyadari jika di belakang ada truk berwarna merah.

Aku bersegera berlari ke pinggir jalan, truk merah itu pun berjalan kembali. Tetapi, nenek tua itu tetap saja menunjuk-nunjuk ke arahku dengan sumpah serapah yang sangat melekat hingga usiaku menjelang dua lima, “Dasar budheg!” Lengkap dengan ekspresi kemarahannya.

Dua fragmen ini tetiba berputar kembali ketika BloggerKAH Mbak Arin disini dan mbak Rani disini menetapkan tema kolaborasi blogpost Januari, “Ingatan terdalam yang bisa kita ingat”. Dua Fragmen yang memancing ingatan-ingatan lain, yang sayangnya tak beda jauh dari ‘budheg’, hingga aku merasa bahwa orang-orang tengah mengutukku dengan satu kata itu.

Maafkan, jika blogpost kali ini full curhatan. Maafkan, jika di blogpost kali ini beberapa di antara kalian merasa tersinggung. Maafkan, jika blogpost kali ini menggambarkan seorang WiDIut yang sangat cengeng dan melankolis.

Aku ingat betul orang-orang yang ‘mengutukku’ dengan kata ‘budheg’, bahkan hingga sekarang, di usiaku yang menjelang dua lima. Sangat sulit untuk berdamai dengan ingatan terjauh, ingatan terdalam yang terjadi pada masa kecil. Dan, oh Rabb, Maafkan aku sekali lagi, sampai sekarang aku belum bisa berdamai dengan orang-orang ini! Sungguh, pertahanan diriku langsung ambyar ketika ingatan itu kembali terbayang.

Sebegitu hinanya kah seorang tunarungu?

Sebegitu mengenaskannya tertakdir sebagai seorang tunarungu hingga ada yang menyimpulkan bahwa aku terkena KARMA WARISAN?

Sebegitu lucunya kah hingga ketidakdengaranku dijadikan lelucon?

So sorry to say, aku tidak mampu melupakan wajah-wajah orang-orang ini… Wajah-wajah songong yang merasa dirinya sempurna. Padahal untuk mencabut nikmat mendengar sangat mudah bagi Rabbuna. Aku… aku ingin marah, karena butuh waktu yang sangat lama untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Rabbuna TAK MUNGKIN SALAH MENETAPKAN TAKDIRNYA. Butuh waktu yang sangat lama untuk memahami bahwa TAKDIR INILAH YANG TERBAIK BAGI SEORANG WIDUT. Dan, orang-orang ini dengan mudahnya menjadikan ketidakdengaranku sebagai lelucon.

Sebegini besarnya pengaruh perkataan negatif, apakah kalian masih tega melekatkan label kepada anak kecil dengan perkataan tak pantas, semisal, “NAKAL, NDABLEG, GOBLOG?” Lalu, apakah kaurela nama dan wajahmu diingat oleh orang dengan perkataan burukmu?

“Dut, apakah perkataan buruk lebih diingat daripada perkataan baik? Mungkin di masa lalu banyak yang perkataan dan perbuatannya baik-baik.”

SAYANGNYA IYA!

Yang melekat diingatan adalah fragmen-fragmen yang tak jauh-jauh dari label ‘budheg‘. Duh Gusti…Inikah yang membuatku mudah menaruh curiga kepada orang lain?

Tuduhan, sumpah-serapah, kutukan yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai labelling, nyatanya adalah hal yang sangat berbahaya bagi kesehatan mental, bahkan mengarah ke bullying verbal. Nah lho, bullying ternyata bukan sekedar pukul-pukulan.

Labelling memberikan dampak negatif melalui tiga cara:

  1. Self Labelling Concept/ Konsep Diri. Saking seringnya orang lain memberikan label ‘budheg’ dengan konotasi yang buruk, dengan bodohnya aku mengaminkan perkataan mereka, mundur seribu langkah sebelum maju, ah, aku tuli, apa bisa?
  2. Melalui Persepsi Orang Dewasa terhadap Anak.
  3. Melalui Perilaku Orang Tua/ Orang Dewasa terhadap Anak

Ya, setidaknya aku harus mensyukuri keberadaan keluarga inti yang tak peduli apa kata orang di luar sana. Meski orang lain mengasihani, menganggap sebagai karma, keluarga tetap membawaku kemana-mana, mengenalkan kepada orang lain dengan kebanggan, tanpa malu-malu.

Bapak dan Ibu yang ngotot aku harus sekolah di sekolah umum, membelikan segambreng buku meski jaman dahulu keadaan ekonomi kami sangat memprihatinkan, mengantarkan aku mengaji meski berulang kali aku ngambek karena tak tahan dengan ejekan teman sebaya.

Kedua Mbak yang rutin meminjamkan segambreng buku bacaan di perpustakaan sekolah untuk adiknya di rumah. Melatih bagaimana cara mengucapkan yang benar, meski sampai sekarang aku belum bisa mengucapkan kata-kata tertentu seperti, ciput, rok, zaitun, bahkan membedakan za dengan ya saja lidahku kesleo. 😛

Boleh jadi seseorang di sekitar kita terlihat buruk. Tetapi, setidaknya jangan menjadi orang yang diingat lekat dalam ingatannya karena perlakuan buruk kita terhadap orang tersebut. Boleh jadi seseorang di sekitar kita tengah berada dalam masa-masa kritis, tetapi siapa tahu ada titik masa dimana dia mampu menjadi orang yang mematahkan perkataan remeh-temeh dari orag-orang yang berpikiran picik.

Sebab, sangat mudah bagi Robbuna untuk Membolak-balikkan Nasib seorang Hamba. Jangan sampai mengalami sendiri tentang apa-apa yang kita remehkan sekarang. Sunggu, aku berlindung dari sikap sombong dan merasa diri lebih sempurna.

 

Exit mobile version