Site icon Widi Utami

Menyambut Lailatul Qadr Ramadhan Depan

“Sholatnya manusia itu setelah sholat. ” 

-abah K-

Dulu. Aku lupa bagaimana redaksi persisnya, darimana beliau mengutip kutipannya. Hanya ingat hakikatnya saja, bahwa sholat kita terlihat setelah salam. Sholat kita tercermin dalam kelakuan setiap detik setelah salam.

“Jika orang sudah sholat, tetapi kelakuannya tetap na’uzubillah, sholatnya patut dipertanyakan.”

-Yai Nasruddin al-Hafidz-

Pembahasan kami melebar ke berbagai hal, salah satunya tentang puasa. Ngobrol dengan abah K, awalnya ringan, nanti mak bedunduk melebar ke hal-hal yang maqomnya untukku masyaAllah tingginya, aku butuh ‘tangga’ untuk memahami apa maksudnya.
“Jadi, Yi. Ini bulan puasa. Syaitan dikerangkeng. Sebenarnya ini jadi kesempatan untuk kita, introspeksi diri, mendata apa-apa yang nggak baik pada diri kita,” beber abah K, sementara aku melongo, asli! “Apa marah-marah, emosian, ngapusinan, dan lainnya tetep muncul saat puasa?”
Aku nyengir.

“Jika iya, berarti itu dosa kita. Wong syaitane dikerangkeng kok isih nesunan. Berarti ada yang salah dengan nafsu kita.”

Aku istighfar seketika. Puasa ini tak terbilang berapa kali aku marah-marah, menggerutu apalagi. 

“Jika munculnya selain bulan Ramadhan, berarti kuwi dosane syaitan. Hahahaha.” Lanjut abah K, dengan tawa khasnya yang tanggung.

Lalu, obrolan kami melipir ke Lailatul Qadr. Hari itu minggu terakhir Ramadhan. Bahasan Lailatul Qadr sedang hangat di timeline. Berbagai pertanda terkait malam seribu bulan tersebut dibahas dalam berbagai versi. Berbagai amalan untuk mengisi malam dimana ibadah di malam tersebut setara dengan ibadah seribu bulan lamanya dijelaskan lengkap dengan dalil-dalilnya.
Tetapi, tunggu.
Apakah untuk menggapai Lailatul Qadr cukup dengan meneliti setiap pertanda untuk kemudian beribadah sebanyak-banyaknya di malam itu?
Sepanjang aku mengaji, baik dengan Alm mbah Muh, pak Sarwono, yai Nasrudin al-Hafidz, dan guru-guru yang lainnya, ternyata its not simple as that. 



Untuk bisa turut menikmati berkahnya Lailatul Qadr ternyata juga melihat track record sepanjang tahun. Ibadah sepanjang masa.

Ibaratnya ingin dapet uang dari presiden sebanyak 100 juta, tapi poll-poll an lebay pedekate dalam satu malam. Lha kok puinuk. Eh.

Bisa saja Robbuna Memberi kesempatan itu, sih. Hidayah adalah hak mutlak Robbuna. Tetapi, sebagai manusia yang dikit-dikit (sengaja) khilaf, kita cukup tahu diri, dong. Berdoa dan ikhtiar menyambut Lailatul Qadr jauuuh sebelum Ramadhan tiba jauh lebih baik daripada poll-pollan meningkatkan kuantitas ibadah di bulan Ramadhan, tetapi mendem grundelan karena capek.

Mempersiapkan Lailatul Qadr Ramadhan depan sejak sekarang, sama saja mempersiapkan puasa Ramadhan tahun depan. Menyiapkan fisik dan hati untuk ibadah, meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah sedikit demi sedikit. Harapannya kelak saat Ramadhan datang, fisik dan hati tidak mengalami kekagetan.

Jika masih berat puasa Senin-Kamis tiap minggu, puasa ayyamul bidh 3 hari setiap bulan sudah cukup. 

Jika masih berat bangun sholat tahajud, sholat witir sebelum tidur sudah cukup. 

Jika masih berat tadarus satu hari satu juz, satu hari satu lembar Qur’an pojokan sudah cukup untuk melatih agar kelak saat Ramadhan bisa khatam tadarus dalam sebulan.

Ini bukan kata WiDut lho, ya. Ini adalah kumpulan dhawuh guru-guru yang kuceritakan ulang. Kucatat di blog agar menjadi pengingat. Karena ilmu begitu mudah dilupakan, lain dengan…. err, auklah. 😂

Btw, blogpost ini adalah blogpost untuk nyarutang utang postingan BloggerKAH. Dah lamaaa banget, sampe ganti bulan. Maapkeun ya, Gengs. 😙
Baca juga postingan bloggerKAH yang lain dongs:

Mbak Arin yang cerita soal puasa masa kecilnya disini.

Mbak Ran yang ngulas tetek bengek puasa saat hamil dan menyusui disini.

Exit mobile version