Tidak mudah membayangkan adegan si K memanggil-manggil Ibunya, namun tidak kunjung mendapatkan jawaban. Its such a… Aduh ya Rabb. 🙂 Tetapi, toh, life must be realistic, kadangkala harus meninggalkan sisi melankolis di belakang dan menghadapinya dengan logika.
Setidaktega apapun, si K harus tahu jika Ibunya seorang Hard of Hearing.
Aku pikir, mengenalkan kekurangan Ibu sedari dini jauh lebih baik untuk si K kelak, agar ia mempunyai pertahanan mental yang lebih, syukur-syukur kelak ia menjadi body guard Ibu dan teman-teman Ibu yang punya keterbatasan.
Contents
Hello, K, ini Ibu yang Menyandang Hard of Hearing
Setiap kali orang-orang di sekitar memberitahuku jika si K memanggil-manggil Ibunya, aku berusaha untuk memberitahunya jika Ibu berbeda. Biasanya, jika kondisi si K sedang tenang dan tidak menangis meraung-raung karena Ibu tidak kunjung menghampiri, aku akan mensejajarkan pandangan dengan si K, berkata dengan pelan, “Nang, Ibu mboten mireng. Kalau Kevin badhe nimbali Ibu, sentuh Ibu, nggih?”
Aku berkata-kata dengan pelan, sembari mengamit tangannya dan menyentuhkan ke tangan atau tubuhku, mempraktikkan bagaimana seharusnya si K memanggil Ibu.
Aku tidak berharap lebih karena usia si K baru dua tahun. Aku hanya ingin mengenalkan tentang kekurangan Ibunya sedari dini.
But, He can do it!
Aku tidak tahu persis sejak kapan, si K pelan namun pasti, akan menyentuh tangan atau pundakku dengan lembut jika ia ingin memanggilku. Jika ia terbangun di malam hari, ia bakal menepuk-nepuk pundakku dengan lembut, seolah-olah ia tahu jika Ibunya tidak bakal bangun kalau ia menangis.
Tentu saja, hal tersebut tidak berlaku saat si K sakit dan rewel. HaHaHa.
Cara ini Membuatku Jauh Lebih Berdamai dengan Diri Sendiri
Jika anak usia 2 tahun saja mulai mengerti keadaan Ibunya, maka, Ibu (seharusnya) lebih bisa menerima diri sendiri.
Berhenti memikirkan bagaimana terlihat sempurna di hadapan anak dan mengenalkan kekurangan diri kepada anak, ternyata membuatku jauh lebih enjoy menjalani hidup. Berdamai dengan diri sendiri, menerima kekurangan diri. Soal kelak bagaimana si K menghadapi lingkungan tentang keadaan Ibunya yang lain, aku memilih untuk menyiapkannya dari sekarang dengan hal-hal kecil daripada memikirkannya sampai air mata terkuras.
Mengisi Hari-hari untuk Latihan Berkomunikasi
Aku bukan Ibu yang dengan ajaib bisa menerjemahkan ocehan tidak jelas dari anak. Aku benar-benar merasa cerita dari Ibu-ibu yang lain
Suatu waktu, si K nyerocos dengan nada marah. Aku kebingungan, Abah K yang sedang sibuk menoleh, bertanya kepada si K apa yang ia inginkan. Si K menjawab dengan ekspresi menjerit.
“Itu nyuwun mimik putih, Yi.” ujar Abah K.
Aku tertawa sembari istighfar. Ya kali cuma minta air putih si K sampai menjerit dan terlihat urat lehernya. Setelah mengambilkan air putih dan si K sudah tenang, aku mengajaknya berbincang,
“Kevin marah tadi?”
Si K mengangguk.
“Marah kalih sinten?”
Ia menjawab dengan nada kesal, “Ibu!”
“Oh, kenapa? Nyuwun mimik putih?”
Si K mengangguk pelan.
“Ibu mboten mireng lah Kevin nyuwun kalih njerit-njerit. ” aku mencoba membangun pemahaman di otak kecilnya, “Kevin kalau nyuwun kalih Ibu, matur yang jelas. Mi-mik pu-tih.”
Aku memintanya mengulang kata-kata, “Mi-mik u-tih!”
“Bukan. Pu-tih!” aku memintanya mengulang dengan gerakan mulut yang lebih jelas.
“Mi-mik pu-tih!”
“Nah! Gitu, Ibu baru paham.”
Si K tertawa, entah paham kata-kata Ibunya atau tidak. Yang paling penting, perlahan-lahan kata-kata si K yang bisa kubaca semakin banyak dan miss komunikasi diantara Ibu dan Anak semakin berkurang.
Mengenalkan si K dengan Orang-orang Istimewa
Aku sepakat dengan abah K untuk mengenalkan si K dengan orang-orang istimewa, bukan menjauhkannya. Jika biasanya orang-orang bilang, ‘amit-amit jabang bayi’ setiap kali bertemu dengan penyandang difabilitas yang istimewa dengan ekspresi enggak enak, aku memilih mengenalkan si K, “Itu Mbak kayak Ibu, yuk disapa!”
Lalu aku meminta si K meyapanya sekedar say hello dengan melambaikan tangan ke teman-teman deaf yang kebetulan bertemu.
Tidak jarang aku mengenalkan si K tentang orang-orang istimewa melalui gambar dan cerita yang kukarang sendiri.
“Eh, ini Mbak pakai kursi roda, kakinya sakit, enggak bisa jalan,” aku menunjuk sebuh gambar seorang anak yang berkursi roda, “Kevin kakinya bisa jalan enggak?”
si K mengangguk sembari menunjuk-nunjuk kakinya, “Alhamdulillah, ya, kaki Kevin bisa diajak jalan.”
Lalu aku mengajaknya bercerita tentang orang-orang istimewa, meskipun aku tidak tahu si K benar-benar faham atau enggak. Hahaha.
Menjadi seorang ibu dengan keterbatasan memang tidak mudah, tetapi aku yakin Robbuna sudah Menyiapkan Segala-Nya, tugasku hanya berusaha semampu yang kubisa.