Sekitar sebulan yang lalu, aku dibuat kebingungan dengan ulah si K yang masyaAllah kalau enggak boleh memegang gadget. Ngamuk. Tantrum sampai guling-guling di lantai. Bikin emak puyeng karena menjauhkan gadget sungguh bukan pilihan yang pas. Apalagi profesi orang tuanya yang harus berada di depan gadget.
Bagi kami, meniadakan gadget di keseharian si K sama saja dengan menutup kran-kran rejeki.
Ah, si Emak mah terlalu mementingkan duniawi, sampai-sampai takut kran rejeki tertutup hanya karena menjauh sejenak dari gadget.
EMANG! Wkwkwkwk, capslock sampai jebol. Abah K gaweannya di depan laptop dan HP, emak K juga, Cynnnn.
Tetapi, please, kami bukan orang berada yang tinggal ongkang-ongkang kaki nunggu duwit datang buat kebutuhannya si K. Ya gimanalah, beli buku aja aku harus ikut arisan dollar dulu perbulan, $5 sebulan, maksudnya. Dih, bilang aja seket ewunan, rempong amat mamak satu ini.
Contents
Kenapa Meniadakan Gadget bukan Pilihan yang Pas
Selain karena profesi kedua orang tuanya yang sangat berkaitan dengan gadget, ada satu hal yang kami khawatirkan: apakah dengan meniadakan gadget akan membuat si K siap menghadapi dunia yang serba tech, jangan-jangan malah membuat si K gagap. Gagap dalam arti, ada saudara yang sedang bermain gadget, si K nempel terus, atau yang paling parah: si K sembunyi dari Ibu hanya karena ingin melihat gadget.
Rasa penasaran yang membuatnya sembunyi-sembunyi dari kami inilah yang mengkhawatirkan. Si K patuh hanya saat di depan orang tuanya saja, jauh lebih menyeramkan. Si K jadi tertutup dengan Abah-Ibunya, horor banget, Cyn.
Maka, tanpa bermaksud menyepelekan peringatan ahli pendidikan, kami bertekad untuk melatih si K membatasi diri dengan gadget sejak dini. Boleh bermain gadget, tetapi dengan kesepakatan abah, ibu dan si K sendiri.
Tahapan Melatih si K Membatasi Diri Bermain Gadget
Awal-awalnya, si K masih kupaksa berhenti. Harus dipaksa, membuat kesepakatan bersama, nangis gulung-gulung yo wis ben. Kata abah K, si K harus dilatih untuk mematuhi kesepakatan yang telah dibuat. Biasanya, aku sampaikan kesepakatan tersebut saat si K ingin meminjam hape abahnya (Fyi, hape Ibu enggak laku :P)
“Kevin, nonton satu tok, ya?”
“Ya, (s)atu.”
“Diminta Ibu enggak boleh nangis?!”
“Inggih,”
“Oke, tos jempol dulu.”
Lalu kami tos jempol, membuat kesepakatan. Nanti jika satu film sudah selesai, maka mau tidak mau hape harus dikembalikan ke Abah.
Belajar Menghargai Kepemilikan Hape (Sense of Belonging)
Meskipun hape milik abah, si K kami ajarkan untuk menghargai bahwa hape tersebut milik abah dan tidak boleh nangis jika diminta abah, tidak boleh nangis jika abah enggak ngebolehin si K pinjam hape. Bukan apa-apa, emaknya frustasi jika si K sampai seenaknya merebut hape orang lain yang bukan miliknya. Maka, langkah yang menurutku paling praktis adalah melatih si K menghargai kepemilikan orang terdekat.
Termasuk hak miliknya si K. Jika si K enggak ngebolehin barangnya dipinjam, maka aku harus konsisten memberi pengertian temannya. POIN INI YANG BERAT. Apalagi kalau orang tuanya tipe-tipe, yo wis ben. Ora papa. Lalu aku dilabeli Ibu yang belibet banget. Wkakakaka
Belajar Memahami Fungsi Hape
Si K baru dua tahun, tetapi sudah kukenalkan dengan istilah, “Sebentar ya, Ibu balas email dulu, sekalian mau balas chat whatsapp.”
atau,
“Sebentar ya, hapenya Abah mau dibuat debugging aplikasi dulu. Buat kerja.”
Tidak jarang Abahnya menawar, “Gantian hapenya, Abah juga mau main game.”
Kemarin, si K sudah kukenalkan dengan pembuatan video, “Kevin, Ibu mau merekam Kevin pakai hape, ya. Dah, mainan pasir dulu sana. Ibu rekam. ”
Terlihat belum saatnya, ya. Tetapi sungguh, kami tidak punya pilihan lain selain mengenalkan istilah yang berkaitan dengan pekerjaan kami sedikit demi sedikit. Hati tak kuat membohongi si K yang polos bener itu. 😀
Kadangkala kami juga bertanya kepada si K sebelum si K meminjam hape, “Kevin, mau apa?”
“(n)onton ipin!”
“Oh, bukan mobil?”
Si K menggeleng.
Tidak jarang juga si K menirukan cara Ibu meminta ijin memakai hape, “Ibu, Kepin (mere)kam (v)ideo!)
Wkwkwkwk, ya dibolehin saja dia merekam, mencet icon kamera lalu belagak menjadi kameramen. 😀 😀 😀
Memberikan si K ‘Hadiah’ Menonton Video
Hahaha, iya, sebagai apresiasi karena si K mampu membatasi diri, mematuhi kesepakatan yang telah dibuat, abah K memberikan si K kesempatan untuk menonton video tanpa si K meminta. Ekspresinya jangan tanya, bungah banget dengan senyum lebar, jauh lebih bungah daripada saat dikasih uang atau jajan. Bahagianya si K seremeh itu, dikasih kesempatan nonton. Wkakakaka
Sekarang, Alhamdulillah si K sudah bisa mengerti jika dilarang, enggak ngambek kalau hapenya diminta, kadang jika tidak disuruh pun dia bisa mematikan hape untuk ganti melakukan kegiatan yang lain. Alhamdulillah, semoga istiqomah. 😀