Site icon Widi Utami

Memaafkan Orang Lain dan Hati yang Tenang

Memaafkan orang lain ternyata bukan perkara siapa yang salah dan harus meminta maaf. Lebaran ini aku belajar banyak tentang hati yang tenang dan luka yang perlahan menutup, meski prosesnya tidak mudah dan tidak instan. Menutup luka dengan menghindari dan (pura-pura) melupakan ternyata menjadi pupuk untuk menyuburkan luka.

Contents

Sakit Hati yang Terus-Menerus Dipupuk

Awalnya terlihat sepele. Bahkan mungkin orangnya tidak menyadari. Namun, aku yang perasa dan mengingat dengan sangat detail, berulang-ulang flashback dengan peristiwa sakit hati yang kualami. Setiap kali namanya muncul, setiap itu pula aku bercerita kepada circle terdekatku.

Tanpa kusadari, ternyata cerita yang berulang-ulang dan bertambah karena ia menambah luka baru meskipun mungkin ia tidak sadar, membuat hatiku semakin sakit. Bahkan mengarah ke benci. Awalnya aku denial, tidak mengakui jika aku benci. Pikirku, aku hanya sebal dan kesal saja dengan perilaku yang menurutku tidak punya etika.

But, bagiku ini tidak beretika, mungkin bagi orang lain biasa-biasa saja. Who knows? Bukankah standar etika setiap orang berbeda. Bagiku mungkin kurang sopan, bagi orang lain biasa-biasa saja.

Menyadari Luka, Pintu Gerbang untuk Memaafkan

Perkara satu itu terhitung berat untukku. Jika ada level 5, maka perkara satu ini ada di level 3.5. Hitungannya lumayan gawat dan aku memilih untuk memendam, bercerita dan denial jika hatiku tidak baik-baik saja ketika menghadapinya.

Abah K yang menyadarkanku jika hatiku tidak baik-baik saja. Rasanya? Sakit. Bahkan aku merasa kenapa bisa seperti ini? Bahkan aku ingat dengan detail scene demi scene, bajunya, gerak-geriknya… enggak cuma satu kali tatap muka, terhitung empat kali dan aku ingat semua detailnya. Dan orangnya memang enggak menyadari jika tingkahnya membuatku kesal.

Proses untuk Memaafkan Orang Lain

Aku menangis pada awalnya. Mengingat kembali kenangan demi kenangan. Menarik jelujur benang, mengurainya sedikit demi sedikit, apa yang membuatku sakit, mengapa aku merasa tidak berkenan dengan tingkahnya.

Mengulur lagi, ketakutan apa yang membuatku sebegitu sensitifnya. Kutarik kenangan, apa saja tingkah yang kupendam dalam memori dan kubiarkan saja membusuk di pojokan. Kuutarakan apa harapanku dan bagaimana sikap yang kuharapkan dari orang-orang sekitarku.

Delapan tahun aku memendam. Mengamati dalam diam. Menyimpan dan memutuskan untuk menutup semua akses. Pada akhirnya, aku mengutarakan apa saja ketakutan yang menghinggapiku dan… memutuskan untuk memaafkan, menghapus luka, dan minta maaf.

Ya, aku tidak hanya memaafkan saja, namun juga meminta maaf atas apa-apa yang telah kuceritakan, kusindir, baik dengan satire maupun terang-terangan kepada circle terdekatku, meski sebenarnya ini mungkin tidak perlu.

Hatiku mulai tenang. Lega. Setidaknya orang terdekatku tahu apa yang menjadi sumber ketakutanku. Aku sedang berproses untuk mengutarakan apa yang selama ini kurasakan, apa sikap yang kuharapkan, dengan tenang, tanpa emosi.

Quote Memaafkan Orang Lain

Memaafkan Orang Lain membuat Hati Tenang

Memaafkan orang lain mungkin berat, bahkan prosesnya cukup membutuhkan energi besar karena harus tarik-ulur kenangan, merinci satu-satu mana yang perlu dimaafkan, memeluk diri-sendiri dan berterimakasih karena tidak gegabah mengambil sikap.

Memaafkan orang lain mungkin awalnya cukup menguras emosi. Sakit karena harus menerjang ego sendiri. Siapa yang salah dan kenapa harus meminta maaf, sementara barangkali ia yang namanya kita kerangkeng tidak sadar jika telah menyakiti. Tetapi, sungguh, memafkan orang lain dan minta maaf kepadanya ternyata membuat hati terasa lapang, tenang….

Quote Memaafkan Orang Lain

Tidak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar, memaafkan orang lain adalah salah satu kunci untuk hidup dengan hati yang tenang dan lapang.

Memaafkan Orang Lain

Memaafkan orang lain mungkin membutuhkan proses yang tidak sebentar. Nikmati prosesnya. Menangislah ketika sesak. Membersihkan karat kadangkala memang harus sesakit itu.

Exit mobile version