Launching buku Mahkota untuk Emak yang dihadiri oleh Habiburrahman El Shirazy adalah satu dari sekian kilasan peristiwa yang paling berkesan dan selalu kuingat. Ada doa yang mewujud nyata dari orang tua, saudara, guru kehidupan dan sahabat yang lain. Ada persaudaraan indah yang tersemat di acara ini, tentang sahabat-sahabat yang menyempatkan hadir disela-sela kesibukan yang tak pernah habis. Ada lecutan semangat untuk terus menulis, meski aku tidak tahu persis ke depannya mau dibawa kemana tulisanku. Ada cubitan tentang si merah yang sampai saat ini masih harus kuusahakan dengan sepenuh, aku masih harus memperbaiki lafadz za sebelum maju untuk mulai menghafal, yang alhamdulillah, sudah ada abah K yang menjadi guru privat super sabar.
Please, Dut? Apa? Masih belajar melafadzkan huruf za? Belum lulus-lulus juga?
Wkwkwkwk, beneran, Cyiin. Usiaku sudah dua empat, huruf za saja belum lulus. Huks.
Maka, pagi itu aku berangkat dengan hati yang nano-nano, badan sehat bugar meski dua hari sebelumnya aku tepar karena masuk angin. Ini momen yang mendebarkan. Momen di mana aku menjadi pusat perhatian, dan orang-orang bertanya dengan sangaaaat sabar selepas aku menguraikan kilas balik isi buku. Perempuan Tuna Rungu seharusnya tidak menyerah hanya karena tidak bisa mendengar seperti orang kebanyakan.
Tugas seorang hamba hanyalah ikhtiar, soal hasil serahkan kepada Robbuna; tawakkal dengan sepenuh asa. Maka, aku berusaha untuk tetap berjuang meski kadangkala tersandung tentang pendengaran. Kilasan perjuanganku beberapa kutulis di buku tersebut, beberapa kutulis sebagai inspirasi cerpen fiksi. Apakah aku seperti yang dikira kebanyakan orang?
TIDAK.
Ada begitu banyak hamba Tuhan dibalik aku yang sekarang ini. Membersamai perjalanan.Mengingatkan kala khilaf. Mendorong kala patah arang. Meski, ya… sampai sekarang aku ya seperti ini, gampang lelah, gampang ngeluh dan gampang nyerah masih plus nyebelin. Hahahaha. Nggak percaya? Tanya saja abah K. Komentar orang yang bersama selama 24/7 seringkali lebih jujur. Mhuahahah.
Dimulai dengan bincang bersama kang Abik, acara tersebut diakhiri dengan pepotoan dan makan-makan. Sebelum pulang, aku bersama sahabat-sahabat yang lain poto-poto dulu di berbagai spot Kampung Percik yang asri dan sejuk. Setelah acara selesai, aku pun pulang ke rumah bareng mas ipar, ponakan, mbak dan seorang sahabat yang jauh-jauh datang ke Salatiga dari Pati hanya untuk menghadiri launching bukuku.
Lepas launching ternyata masih ada episode kelanjutan, tak sedikit inbox yang masuk. Ada yang ngajak kenalan, kirim testimoni buku, sampai yang nanya masih single atau tidak. Wkwkwk. Keharuanku memuncak ketika seorang ibu memberitahuku jika cerpen Mahkota untuk Emak membuat anaknya yang sedang di pondok lebih semangat lagi untuk menghafalkan surat cinta Robbuna, bahkan buku tersebut bergilir dipinjam oleh teman-temannya yang lain.
Dek, aku aja belum mulai lagi menghafalnya. Semoga dikau dimudahkan disana, ya…
Dibalik kilasan buku Mahkota untuk Emak, sebenarnya ada doa-doa yang diucapkan makhluk pilihan Robbuna. Ada doa tulus dari hamba-hamba-Nya berhati teduh yang menolak berbagai ‘kutukan’ tentang ketidakdengaran, yang tak pantas diceritakan disini. Sungguh, kekuatan sebuah doa benar-benar… Hmmm.
Widi, kamu berbakat sekali. Kelak jadi penulis, ya.
Ucap bu Guru Pemerhati Kehidupan. Duluuu sekali, delapan tahun yang lalu, saat aku masih hobi menulis alay. Berkreasi dengan beragam angka dan huruf untuk membentuk sebuah tulisan di layar handphone, hingga beliau menegurku karena gaya menulis di sms terbawa-bawa di tugas Bahasa Indonesia. Sejak saat itu, aku mencoba untuk menulis baku meski di sms. Beliau pula satu-satunya orang yang terus terang jika suaraku cocok untuk menyanyi dangdut. Yang ini entah, nyerah sebelum perang. Cukup si K saja yang menikmati emaknya nyanyi antah-berantah. Hahahaha. :p
Lain waktu, beberapa guru dan dosen yang memang mengikuti tulisanku di facebook mengapresiasi dengan komentar yang membuat hatiku bungah. Pun dengan teman-teman yang lain, seringkali bertanya, “Kapan nulis lagi? Kapan menerbitkan buku?”
Buku?
Please, aku belum siap mental untuk ditolak penerbit. Memilih untuk menulis di blog dan notes facebook. Biarlah, tulisanku bertebaran disana-sini, toh, aku hanya ingin curhat. Jika tulisan tersebut bermanfaat, itu adalah bonus bagiku. Apalagi jika sampai ada yang melirik untuk menjadikan buku, itu bukan lagi bonus, tetapi kejutan yang besar. Dibalik tiga empat orang yang meremehkan karena pendengaran yang kurang dan seringkali nggak nyambung jika diajak ngobrol, ada ribuan orang yang mengapresiasi. Dibalik telinga yang kurang, masih ada empat indra lain yang harus dipertanggung jawabkan benar-benar.
Maka, saat seseorang mengutarakan niatnya untuk membukukan notes facebook-ku, aku pun segera meluangkan waktu untuk mengedit, menambah beberapa tulisan di sela-sela kegiatan kuliah, Rumah Pelangi dan Taman Tauhid saat itu.Hingga launching buku Mahkota untuk Emak di bulan Mei 2013, mengingatkan tentang doa-doa guru dan sahabat, doa indah yang mewujud nyata.
Doa indah yang mewujud nyata, membuatku ingin memberi hadiah yang sama kepada mam Ira. Seorang mom Blogger dari Pulau Sulawesi sana, yang memberi inspirasi kepadaku untuk kembali menuliskan satu dari sekian peristiwa yang berkesan. Mam Ira, semoga semakin berkah usianya, berkah tulisannya, berkah segalanya… Apakah yang lebih membahagiakan daripada setiap detak jantung yang penuh dengan keberkahan?
Pun kepada sesiapa yang membaca tulisan ini, keberkahan senantiasa. Aku meng-upload versi pdf buku Mahkota untuk Emak, spesial untuk pengunjung blog ini. Bisa kalian unduh dengan gratis. Sebagai rasa syukur atas blog baru yang WiDut banget. Hahaha, big-big thanks to Abah K. Buku Mahkota untuk Emak boleh disebar luaskan, tak perlu ijin dengan empunya.
Kalian bisa download bukunya disini.
Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”