Penetapan usia 7 tahun sebagai syarat minimal untuk pendaftaran jenjang Sekolah Dasar oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan tentu saja telah melalui berbagai pertimbangan. Elly Risman, seorang psikolog yang telah malang-melintang di dunia pendidikan pun juga mengaminkan standar minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Memasukkan sekolah anak terlalu dini, sama dengan menyemai benih kanker. Otaknya belum siap, kita tidak tahu kapan ia kehilangan motivasi belajar. Semakin muda kita sekolahkan anak, semakin cepat pula ia mengalami BLAST (Bored, Lonely, Angry, Stress, Tired), lebih rentan menjadi pelaku dan korban bullying, pornografi dan kejahatan seksual. -Elly Risman, dikutip dari fanspage Parenting Elly Risman and Family-
Membaca paparan ini, sebagai Ibu dari seorang anak yang masih berusia satu tahun, daku ngeri-ngeri sedap. Sebegitu parahkah akibatnya? Jika menilik dari pengalaman ibu-ibu yang anaknya pernah disekolahkan terlalu dini, aku menarik satu benang merah yang menguatkan paparan Elly Risman; anak bosan sekolah ketika memasuki bangku kelas 2-3 SD. Anak-anak ini cenderung harus dipaksa untuk belajar, jarang ada kemauan belajar dari diri sendiri.
Bagaimana jika Terlanjur?
Bagaimana jika terlanjur memasukkan anak ke sekolah terlalu dini? Retno Kusumawardani, seorang blogger dari Malang, menceritakan pengalamannya ketika terlambat menyadari tentang bahaya menyekolahkan anak terlalu dini. Ibu tiga anak ini baru mendapatkan informasi tentang bahaya tersebut ketika anak sulungnya sudah berada di bangku TK kelas besar. Mbak Retno, begitu kami memanggilnya dengan akrab, memasukkan si sulung ke sekolah PAUD saat masih berusia 3 tahun dan jenjang TK usia 4 tahun. Lebih awal 1 tahun dibandingkan usia anjuran KEMENDIKNAS.
Menyesali ketidaktahuannya tersebut, mbak Retno memutuskan untuk ‘meliburkan’ anak sulungnya dari kegiatan sekolah selama satu tahun penuh ketika anak lulus TK, sehingga ketika masuk SD usia anak 7 tahun. Tekad mbak Retno untuk meliburkan si sulung selama satu tahun sebelum masuk SD ini menuai pro dan kontra. Meski begitu, mbak Retno berpegang teguh pada keputusannya untuk mengganti masa bermain sang anak yang sempat ‘terampas’.
Menghadapi Pertanyaan ‘Kapan Sekolah’?
Nggak cuma kapan nikah, ternyata yang bikin dunia pertetanggaan gonjang-ganjing. Pertanyaan ‘kapan anak kesayangan sekolah’ pun membuat hati mamah-mamah muda kebat-kebit. Apalagi jika diiringi argumen senioritas, “Wong anakku dulu nggak papa, kok..” errr. Anak-anak gue, kenapa elu ribut banget, sih, mau bantu biayain sekolah? Mau urun ngasih beasiswa? Eh.
Pertanyaan itu pun juga menghinggapi mbak Retno ketika si sulung ‘libur’ sekolah, sementara teman-temannya sudah satu jenjang di atasnya. Bahkan ada orang tua yang melarang anaknya bermain dengan anak mbak Retno. Ye kaliii, sebegitunya, Mak, semoga kita dihindarkan dari mak-mak otoriter macam ini. Ditanya tentang bagaimana menghadapi pertanyaan nggak jelas semacam itu, mbak Retno yang bergabung dalam Mom Bassador SGM 2016, menjawab dengan santai,
Apa yang kita lakukan itu berbeda, tetapi tidak salah. Bilang saja nunggu umur.
Sungguh jawaban simpel yang bijak, nggak kayak angan-angan Emak K diatas. Ocehan Emak K yang nggak banget jangan ditiru ya, Mak, karena bisa menimpulkan perang dunia ke tiga. 😀
Apa Kegiatan Selama Liburan?
Libur satu tahun, jika tidak pintar-pintar memberikan kegiatan kepada anak, anak bakal bosan berat, apalagi ditambah melihat teman-temannya sekolah. Feel so lonely. Kegiatan anak mbak Retno, mom blogger di Lemari Pojok, ini bisa ditiru.
Kalau pagi main main, kalau sore mengaji. Belajar tidak harus menghadapi buku. Belajar bisa dari apapun. Saat tidak sekolah, melihat bunga mekar mereka belajar. Melihat hujan mereka belajar. Maknya bikin kue mereka belajar. Bahkan si sulung sudah bisa menakar dan membuat kue sendiri. Emaknya bagian masak. Tapi sekarang sudah lupa kali wkwkwk
Intinya kami belajar bersama sama dari apa yang kita lihat sehari hari.
Kalau emaknya ga bisa jawab, ada internet yang membantu hehehe tinggal mengganti ke bahasa yg lebih sederhana saja.
Jadi meskipun tidak bersekolah, proses melatih otak itu berjalan terus melalui cara yang menyenangkan dan bermain main. Bahkan mereka tidak sadar kalau sedang belajar.
Ya, belajar tidak melulu tentang bangku sekolah, kok! Poin yang ini aku setuju pake banget. Hihihi, sampai si K umur satu tahun, aku dan abah K masih terus berdiskusi tentang bagaimana sekolah si K nanti, apalagi sebagai lulusan PGMI daku kecewa berat dengan kurikulum sekarang, ajegile, materi jenjang SD adalah materi SMP pada masaku. Huhuhu. Doakan daku ya, Mak, agar cepat mendapatkan pencerahan sebelum tiba usia sekolah si K!