Site icon Widi Utami

Katanya Ibu Dilarang Bahagia

Katanya Ibu Dilarang Bahagia 1

“Jadi Ibu itu harus ngalah demi anak. Bah bah no, kutang molor, cawet bolong-bolong, sing penting anak wangi, perutnya kenyang. Ibunya bisa belakangan.” Saya tergeragap. Urung membuka es krim coklat yang sudah dibeli bareng anak lanang. Benarkah seorang Ibu tidak berhak untuk bersenang-senang?

Bukan pertama kalinya saya menerima komentar senada. Tidak jarang komentar-komentar itu berlanjut ke cerita perjuangan seorang ibu untuk anak-anaknya. Seolah Ibu harus tirakat. Berjuang untuk anaknya tanpa batas, tanpa tapi, tanpa nanti. Pantang mengeluh. Pantang menangis. Pantang bersedih.

Saya masih ingat, kelahiran anak pertama membuat dunia begitu suram. Bayang-bayang bayi imut, lucu, menggemaskan ternyata tidak seindah ketika melihat bayi orang. Hari-hari saya gelap, nyaris setiap malam saya harus menggendong bayi yang menangis hingga berjam-jam, dengan kondisi jahitan yang belum kering.

Saya menyalahkan diri-sendiri. Merasa menjadi Ibu yang tidak becus karena tidak bisa mengasuh bayi dengan riang gembira dan senyum yang selalu bersinar di wajah seperti ibu-ibu yang lain. Saya sering menangis diam-diam. Menyalahkan keadaan. Menyalahkan suami yang membuat saya hamil, padahal program hamil adalah keputusan bersama.

Saya merasa gila. Sisi rasionalitas saya seolah lenyap tanpa bekas. Perasaaan saya sangat sensitif, senggol bacok. Boro-boro komentar julid orang lain, ketika bayi menangis dan suami bertanya, “Kok anaknya nangis?” saja sudah membuat saya uring-uringan karena merasa dituduh tidak lihai menangani anak yang lahir dari rahimku sendiri.

Untungnya suami sigap menyelamatkan saya yang hampir terkena depresi pasca melahirkan, postpartum depression. Suami menggandeng tangan saya untuk tetap bahagia bersama. Mengijinkan saya menikmati aktivitas yang saya sukai sejak sebelum saya menikah; menulis, makan pedas, makan es krim, nyeruput coklat, ngebolang.

Saya selamat dari post partum depression, tetapi tidak selamat dari komentar miring orang-orang sekitar. Takut anaknya belek karena ibunya makan sambal. Takut kulit anaknya coklat karena ibunya suka nyruput coklat. Takut anaknya ketempelan jin di jalan-jalan yang kami lewati ketika ngebolang.

Komentar semakin santer ketika lahir anak kedua karena kami memutuskan untuk mencari bantuan mengasuh si bayi setengah hari. Saya dianggap tidak bersyukur dikaruniai anak karena alasan menitipkan bayi hanyalah agar saya bisa mengerjakan pekerjaan freelance tanpa gangguan. Baginya, seharusnya saya bisa tetap mengerjakan saat bayi saya sedang terlelap tidur.

Saya sudah melakoni menjadi ibu nocturnal yang bekerja saat anak terlelap selama tiga tahun. Namun saya sadar jika saya lemah. Begadang membuat saya hilang kendali, marah-marah karena anak-anak tidak kunjung lelap. Entah sudah berapa kali stress karena deadline sudah di depan mata namun anak bayi malah bangun awal dan nemplok ibunya. Entah kenapa, rasanya semakin banyak yang dipikir ibu, anak semakin mbok-mboken.

Seorang sahabat saya berkomentar, “Kenapa kamu terlihat bahagia sekali padahal baru punya bayi?” Saya tertegun. Memang kami sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari skenario kelahiran anak kedua. Bagaimana kami akan melalui hari-hari yang mungkin akan berat di 40 hari pertama anak lahir. Kami menyiapkan support system, mencari bantuan untuk mencuci dan memasak, urusan kebersihan rumah tentu saja dibantu orang tua dan saudara. Tidak lupa memesan jasa mom massage agar aku tidak terlalu lelah setelah begadang mengasuh bayi.

Sahabat saya yang baru melahirkan anak keduanya bercerita betapa dia repot dengan segala urusan rumah tangga, pekerjaan dan bayi. Belum urusan sibling rivalvy yang muncul karena kakak belum siap dengan kehadiran adik bayinya. Sahabat saya merasa hidupnya habis untuk urusan anak-anak dan tidak sempat memikirkan kebahagiaannya. Urusan ompol bayi, menyusui, kakak yang cemburu, cucian seabrek, rumah yang berantakan memang sangat menghabiskan energi.

“Masih waras saja sudah syukur.” tutupnya. Saya memintanya untuk mencari bantuan. Paling tidak, ia bisa istirahat sejenak ketika bayi tidur. Ternyata tidak mudah. Doktrin ibu harus berjuang mati-matian tanpa tapi, tanpa nanti terlanjur mengakar sangat kuat. Seolah semakin menderita seorang ibu demi anak-anaknya, semakin tinggi tahtanya.

Ibu yang menderita demi anak seakan-akan menjadi alasan kuat kenapa ibu sangat mulia dan hal itulah yang memantaskan surga berada di bawah telapak kakinya. Tidak mudah memang bagi seorang ibu untuk mencari bantuan, bahkan kepada sesama ibu pun.

Alih-alih saling menguatkan dan mendukung, seringkali antar ibu malah saling membandingkan, menganggap ibu yang mencari bantuan adalah ibu yang lemah.

Apakah seorang ibu haram mencari bantuan agar tetap bisa berbahagia bersama keluarganya? Apakah ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ akan lenyap hanya karena ia tidak terlihat menderita demi anak-anaknya? Apakah seorang ibu yang menyempatkan diri untuk merawat dirinya sendiri agar tetap waras, sehat dan bahagia tidak berhyak dimuliakan?

Doktrin ibu harus mengalah, tirakat, menderita demi anak-anak dan keluarga tidak hanya membuat ibu malu untuk meminta tolong, namun juga membuat laki-laki dewasa abai, bahkan nir empati dengan keseharian seorang ibu. Entah sudah berapa orang teman saya sesama ibu curhat tentang suami-suaminya yang tidak peka dengan kesibukan seorang ibu dan segala urusan rumah tangganya. Yang paling parah suami-suami ini membandingkan dengan ibunya, yang dianggap rela menderita demi anak-anaknya dan mengabaikan kebahagiaannya sendiri.

Saya khawatir, kasus ibu yang mengalami post partum depression yang berujung menyakiti diri sendiri dan anak-anaknya kembali menghiasi laman media sosial dan berita-berita di tanah air jika kita abai untuk memberikan kesempatan kepada seorang ibu untuk tetap bahagia melewati hari-harinya yang tidak mudah.

Exit mobile version