Site icon Widi Utami

Karena Setiap Pasangan punya Sisi Romantisme Sendiri

Kami bukan pasangan yang mudah mengungkapkan rasa secara verbal. Bukan karena tidak cinta, tetapi karena tidak punya keberanian lebih untuk mengungkapkan.

Rasanya jauh lebih enteng nyuci baju segambreng-gambreng daripada mengungkapkan perasaan ke pasangan secara langsung. Semacam, terlalu sakral hingga aku butuh tenaga yang sangat banyak untuk sekedar mengungkapkan rasa sayang secara verbal kepada abah K. 😂

Pun dengan abah K, beliau terlihat sangat datar. Menyimpan rapi perasaannya. Hingga beberapa teman berkomentar, “Suamimu datar sekali.” Hanya karena menyimak percakapan-percakapan kami yang lebih terlihat saling ece-ecean daripada gombalan mesra.

Awal menikah, aku sering ngarep diperlakukan bak ratu, tetapi harapan itu tinggal harapan. Ngarep dikasih sekuntum mawar merah setiap kali milad, dapatnya malah pertanyaan, “Lho, Yi, Ayi ulang tahun sekarang to? Tambah tua, yo?”

Berjalannya waktu, sedikit demi sedikit aku memahami karakter beliau yang sulit mengungkapkan rasa secara verbal. Enggak cuma rasa cinta dan sayang, rasa marah nan mangkel level waspada pun beliau tidak bisa mengungkapkan. Ya, abah K lebih memilih diam. Biasanya, aku baru tahu kalau beliau marah itu waktu ngobrol santai. Marahnya sudah lewat, bahkan mungkin aku lebih banyak enggak tahunya kapan beliau marah. Hahahaha.

Sebagaimana Aku ingin Menjadi Diri Sendiri, pun dengan Suami

Aku ingin menjadi diri sendiri, enggak mau dituntut di luar batas kemampuanku. Aku enggak mau dipaksa belajar telepon dan nyanyi, which is, merupakan hobi abah K sebelum menikah. Abah K menghargai, sama sekali tidak pernah memaksaku, bahkan jika tidak urgent, abah K tidak mau ditelepon, demi menjaga hati istrinya yang super labil.

Sikap abah K yang memberikan kebebasan kepadaku, aku pun ingin menghargainya yang tidak memiliki ekspresi  cinta yang meledak-ledak, karakter khas cinta Bapak ke Ibu dan Bapak Mertua ke Emak Mertua dengan menikmati ekspresi cintanya yang harus kuselami sendiri. 😀

Makin Kesini, Romantisme tak Hanya Berwujud Gombalan Sajak

Makin kesini aku menyadari jika romantisme tidak hanya berwujud gombalan cinta. Bahkan aku mengambil kesimpulan jika Gombalan Cinta saja tidak cukup karena kadang gombalan cinta tidak bisa menghilangkan rasa letih. Hahaha

Ada romantisme yang tersimpan pada gegasnya suami mengangkat jemuran saat hujan tiba. Tawaran wedang jahe saat tubuh terasa sangat letih. Ajakan ngebolang saat emosi serasa mledak karena urusan yang tak kunjung selesai, padahal ngebolangnya cuma keliling desa yang berakhir pada Lele Penyet di pinggir jalan.

Aku mbrebes mili ketika abah K, tanpa banyak bicara, menggantikan semua tugasku kala aku hamil si K, pun beberapa bulan setelah si K lahir. Sampai-sampai, aku dijuluki istri manja karena semua-muanya dihandel suami.

Anggap saja Apa-apa Romantis

Trik saat aku hopeless kesel adalah menurunkan standar, entah standar bahagia, standar terharu. Jadi, melihat abah K menyempatkan ngajak si K main bola atau main mobil-mobilan di sela-sela deadline yang memusingkan, romantis, karena abah K memberikan aku kesempatan untuk ngeblog barang sejenak.

Abah K rela begadang memperbaiki tampilan blogku, romantis, aku bisa bobok nyenyak saat blogku hancur gara-gara kuotak-atik sendiri. Aku yakin abah K bakal mengatasi itu semua. Haahaha

Abah K membangunkanku sebelum shubuh, romantis, meskipun aku lebih banyak tidur lagi dan meminta beliau membangunkan ketika shubuh tiba. Wkwkwkwk

Abah K ngece di komentar-komentar medsos dan di keseharian, romantis, karena beliau mengajarkan aku untuk tidak jadi istri baperan. Hahahaha

 

Ya, aku yakin setiap pasangan mempunyai sisi romantisme sendiri. Yang memahami ya pasangan itu sendiri, jangan sampai perempuan lain yang lebih memahami. Hihihi.

Exit mobile version