Site icon Widi Utami

Jatuh Cinta ke Sejuta Kali pada Suami yang Plegmatis

Membaca tugas NHW 3 pada 2 minggu yang lalu, mataku sudah mbrambang mili. Belum membuat surat cintanya saja aku sudah mbrambang mili, apalagi saat membuat surat cintanya, mewek parah sampai ingusan. Cobalah, kaubaca tugas di poin pertama ini.

Jatuh cintalah kembali kepada suami anda, buatlah surat cinta yang menjadikan anda memiliki “alasan kuat” bahwa dia layak menjadi ayah bagi anak-anak anda. Berikan kepadanya dan lihatlah respon dari suami.

Aku sengaja menulis saat abah K sibuk dan si K sudah terlelap dengan mimpi indahnya. Kuambil binder dengan kertas aneka warna dan beragam motif yang sudah lama kumusiumkan. Binder memorable yang menjadi teman setia sebelum aku mengenal laptop dan smarthphone. Kuambil pena berwarna hijau, aku mulai menuis dengan tangan yang sedikit kaku.

Dear, Kakak

Panggilan kesayangan sebelum si K lahir di dunia. Ingatanku terlempar pada empat tahun yang lalu kala kami masih penjajakan. Rasa cinta yang sempat terabaikan karena kesibukan yang menerjang nyaris tanpa henti, meletup-letup kala aku mengingat scene demi scene yang membuatku jatuh cinta pada Abah K.

Kami bertemu di Terminal Tingkir kala itu. Jaga jarak nyaris semeter. Duduk di bis pun pojok ke pojok. Sikapnya yang selalu memintaku jalan duluan, naik bis duluan membuatku tersipu malu. Kami ke UNS untuk bertanya tentang prosedur penelitian air sebagai bahan skripsinya–yang enggak dilanjutkan sampai sekarang.

Aku tersenyum, merasakan kembali hati yang berbunga-bunga.

Jatuh Cinta ke Sejuta Kali pada Suami yang Plegmatis, picture source: pixabay

Lalu, sampailah aku ke scene kala aku men-syaratkan satu hal: restu Ibu. Jika Ibunya tidak merestui karena telingaku yang istimewa, aku akan mundur saat itu juga, tanpa embel-embel memperjuangkan cinta, lha wong saat itu aku belum mencintainya. Baru sebatas mengagumi. Perempuan besahaja yang kini menjadi Emak Mertua menerima dengan legawa sepulang aku mengunjungi kampung yang sederhana bersama Ibu.

Air mataku menetes satu. Membasahi kertas yang sedang kutulis.

Betapa kala itu aku merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Orang-orang takjub karena aku tiba-tiba berkabar akan menikah, padahal selama ini enggak pernah terlihat ada tanda-tanda pacaran. Apalagi ketika mengetahui calon suamiku Dengar. Sahabat-sahabat Tuliku berulang kali menegaskan, “Kamu yakin?”

Keyakinanku terbukti sekarang, aku menulis dengan air mata yang menganak-pinak. Kakak tidak pernah membuatku terluka karena aku Hard of Hearing, kakak pula orang pertama yang membackup jika aku tidak mengerti.

Cintanya tersimpan rapi pada tingkah lakunya.

Aku terus menulis diiringi air mata, cinta yang kembali meletup, hati yang mengharu-biru dan syukur yang membuncah. Aku mengakhiri di halaman ketiga, ketika aku merasa aku sudah terlalu banyak menangis, khawatir abah K akan salah paham jika mendapati aku menangis sesunggukan.

Kusimpan surat yang telah kutulis. Rasa rindu menyeruak, sudah beberapa hari ini kami melewatkan momen pillow talk karena jam tidurku yang berbarengan dengan jam kerja abah K. Aku tidur beliau keja, aku bangun beliau tidur kelelahan.

Ah, lelakiku yang tidak pandai beromantis ria seperti Oppa-oppa Korea, kesetiaan dan kesabarannya pada istri dengan telinga yang istimewa membuatku jatuh cinta kesejuta kalinya.

Reaksi Suami Plegmatis atas Surat Cinta Istri Melankolis

“Apa iki, Yi?” tanyanya, datar.

Aku yang menahan malu karena sudah lama tidak memberikan surat cinta langsung tertawa terbahak-bahak sambil mencubit lengannya.

“Hih, dasar!”

Begitu saja? Iya.

Suami plegmatis yang pandai menyimpan perasaan. Kauharus menyelami matanya untuk tahu sedalam apa cintanya. Kauharus pandai mengambil kehangatannya pada kata-katanya yang santun dan nyaris tidak pernah meledak-ledak dalam mengungkapkan perasaannya. Kauharus peka menangkap rasa cemburu pada gestur tubuhnya.

Kebanggaannya pada pasangan tidak tercermin pada puji-pujian, tetapi pada cerita yang ia bagi ke kawan-kawannya. Kauharus memaklumi bahasa cintanya yang tersembunyi dan membuang jauh-jauh keinginan untuk pamer perilaku romantis pasangan ke segala media sosial.

Barangkali, lelaki plegmatis tidak masuk dalam kriteria suami idaman yang kerap dibagikan pada akun-akun pernikahan dan relationship karena pembawaannya yang cenderung kalem, tetapi kau harus bangga atas sifatnya yang sangat pemaaf dan sabar.

Kehangatan yang kudapatkan saat menulis surat cinta terbawa dalam keseharian. Komunikasi kami jauh lebih lancar. Aku melakukan hal-hal kecil yang seringkali kuabaikan–yang ia ungkapkan setelah aku terus terang jika aku meindukan masa-masa penuh cinta– seperti menemaninya menyeuput kopi meskipun beliau sambil bekerja.

Dear mbak Marita, juga segenap team Matrikulasi IIP Batch 6, terimakasih sudah membuatku jatuh cinta kesejuta kali. Sepertinya aku harus menulis suat cinta lagi dan lagi. Dan kamu yang sedang membaca, mari menulis surat cinta untuk pasangan, dan rasakan kembali saat-saat penuh cinta.

 

 

Exit mobile version