Diantara Melihat dan Difabel Netra ada minus, plus, silinder yang bisa dibantu dengan kacamata. Diantara Difabel Rungu dengan Dengar, ada Hard of Hearing yang kondisinya masih belum familiar dan tidak semuanya selesai dengan Alat Bantu Dengar.
Aku sudah melewati masa-masa yang membingungkan selama 25 tahunan. Speak up ke manapun yang kubisa tentang kondisi yang serba tanggung ini. Jatuh-bangun, lalu jatuh lagi. Kuakui ini enggak mudah, tetapi mungkin aku sedang butuh mengambil jeda dan memeluk diriku sendiri yang lemah.
Hard of Hearing Mungkin Bukan Tuli, tetapi Kami Sama-sama Difabel Rungu
Selama ini aku berganti-ganti mendeskripsikan kondisiku. Dalam kondisi mendesak yang membutuhkan pertolongan segera, aku memilih untuk menggunakan kata Tunarungu atau Tuli, alih-alih Hard of Hearing, karena sekarang belum semua orang menyadari keberadaan Hard of Hearing.
Bayangkan, 4 tahun yang lalu kondisi sedang crowded di UGD. Abah K sedang terserang anxiety, detak jantungnya sangat cepat. Aku menggendong si K yang baru 3 tahunan, dokter pakai masker, mana mungkin aku sempat menerangkan apa itu kondisi HoH? Lebih cepat jika aku menjelaskan keadaanku yang Tuli dan meminta dokter untuk membuka masker atau menulis ketika ada hal-hal yang ingin disampaikan kepadaku.
Aku pun sebenarnya bingung bagaimana kata yang tepat untuk mendeskripsikan diriku sendiri. Dulu saat SD, kalau ditanya ya aku ini budheg. Kasar memang, tetapi aku tidak punya padanan kata yang lain. Mau pakai labelling Tunarungu, aku masih bisa berbicara sementara tetanggaku yang Tunarungu full berbahasa isyarat.
SMP-SMA, aku memilih mengutarakan jika telingaku sakit. Salah satu guruku sempat tanya, “Lalu kapan sembuhnya? Berobatnya dengan apa?”
Iya juga, ini bukan sakit dan enggak ada obat atau terapi apapun yang sedang kujalani. Galau lagi. Hawanya saat nulis ini tuh pengen misuh, tetapi aku enggak tahu apanya yang kupisuhin? Toh, aku enggak merutuki kondisi telingaku yang spesial ini.
Sampai kuliah aku enggak menemukan teman yang kondisinya sama dengan aku. Ketemu komunitas Tuli pun, 100% pakai bahasa isyarat. Orang lain merasa aneh, aku mengaku berkebutuhan khusus Dengar tetapi cas cis cus was wes. Yhaaa… yang ngelakuin saja juga bingung.
Tuli enggak. Dengar juga enggak. Kalau Tuli, kok bisa ngomong, kalau Dengar, kok dipanggil enggak nyaut-nyaut, diajak ngomong susah nyambung, ketawanya delay, nyanyi nadanya lari kemana-mana. 🤐
Saat kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, dosenku menerangkan jika gangguan pendengaran itu ada beberapa tingkatan; ringan, sedang, berat dan Tuli total. Saat itu deskripsinya pakai frekuensi pendengaran, lebih dari 75 dB masuk kategori berat dan lebih dari 90 dB masuk kategori Tuli Total. Oke, sejak saat itu aku menggunakan labelling Deaf dengan kondisi berat.
Era Media Sosial, ketika Labelling semakin Abu-abu
Era media sosial, era dimana semua orang bisa speak up justru membuat labelling tentang Tuli semakin abu-abu. Beberapa kawan Tuli kekeuh jika labelling Tuli hanya boleh disematkan kepada orang Tuli yang berbahasa isyarat. Sementara orang Tuli yang berbahasa oral disebut dengan Hard of Hearing, meskipun dB frekuensi pendengarannya mirip.
Beberapa kali aku curhat dengan sesama HoH. Frekuensi pendengaran kami yang sebenarnya enggak jauh beda dengan Tuli yang berbahasa isyarat ternyata membuat kami tidak bisa disebut Tuli hanya karena kami tidak berbahasa isyarat.
Dengar enggak, Tuli juga enggak.
Abu-abu-nya kondisi HoH ini kadang bikin kesel. Kami musti menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi kepada orang lain terkait kondisi Hard of Hearing, padahal orang awam biasanya ngangguk-angguk sambil bergumam, “Oh, jadi kayak Tunarungu gitu, ya.”
Mau misuh, misuh ke siapa. Hahahaha. Identitas sebagai Hard of Hearing yang serba tanggung ini belakangan membuatku lelah untuk speak up. Padahal, teman-teman yang mengalami masalah di pendengaran ini sebenarnya juga kesulitan untuk mengabarkan kondisinya kepada orang-orang di sekitar sehingga membuat mereka kesulitan untuk beberapa urusan. Dalam ranah yang paling parah, kami memilih mengurung diri di kamar dibandingkan bingung dengan kondisi diri sendiri yang Tuli enggak, Dengar juga enggak.
Bingung bagaimana mengabarkan kondisi pendengaran yang tidak optimal.
So, jadi bagaimana? Enggak tahu. Hiks. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang sedang kupikirkan. Aku takut tiba-tiba dituding jika aku bukan Tuli ketika aku mengungkapkan jika aku Tuli. Di sisi lain, tidak semua kondisi bisa diungkapkan dengan HoH karena akan memunculkan pertanyaan lanjutan yang seharusnya tidak diungkapkan dalam kondisi urgent. Embuh, wis….