Site icon Widi Utami

Fokus Menemani Anak, Jangan Menunggu Ketersediaan Alat

Printable Ala-ala yang Terinspirasi dari Pinterest

Printable Ala-ala yang Terinspirasi dari Pinterest

Godaan pengasuhan anak dewasa ini makin banyak. Alat-alat bantu pengasuhan anak yang premium dan gemes-gemes seringkali membuat orang tua, eh, apa emak K doang? Menjadi menunggu punya alat tersebut untuk memulai stimulasi anak. Padahal, yang penting adalah fokus menemani anak, bukan menunggu ketersediaan alat penunjang.
Enggak usah nunggu punya buku premium semacam Cakrawala Pengetahuan Dasar yang sepaket nyaris 3 jutaan untuk menemani anak belajar tentang alam dan seisinya. Masih ada buku-buku sejenis di lapak-lapak buku lawas atau gunakan saja e book yang tersedia di Ipusnas, Lets Read, Pusjak, dll.
Enggak usah nunggu punya printer untuk belajar bareng anak menggunakan printable, buat saja dengan coretan tangan Ibu dan Ayah. Anak belum kenal ilustrasi cakep atau enggak, ia sudah cukup puas dikasih tahu “Ini gambar ayam.” Meski sebenarnya enggak ada bedanya antara gambar ayam dan bebek.
Enggak perlu menunggu punya alat kekinian semacam Hafidz Doll untuk stimulasi mengaji atau kenonton video edukasi. Stimulasi mengaji terbaik adalah suara mengaji yang keluar dari orang tuanya. Video edukasi tersedia cukup banyak di Youtube, pintar-pintar orang tuanya untuk memilih dan menemani.

Alat-alat Belajar Premium dan Distraksi Pengasuhan Anak

Alat-alat mendidik anak premium bertebaran. Sebenarnya emak K juga konsumen alat-alat premium; brick, playdough, pasir kinetik, buku-buku pop up, dll. Tidak jarang sengaja menabung untuk beli alat-alat tertentu.
Namun, ada yang menggelitik di dada ini. Keberadaan alat-alat premium seolah membuat parenting jaman kini menjadi sangat mahal. Aku pernah mengalami masa dimana menunggu punya uang untuk memulai belajar menggunakan printable, menunggu beli printer.
Tidak jarang sahabat yang curhat perkara hafidz doll, buku-buku premium, sampai-sampai ada yang nyeletuk, “Kuwi nek pengen anake pinter, sholih, kudu nduwe kaya ngunu ya?”
Alat-alat premium menjadi godaan baru dalam pengasuhan anak. Bagi sebagian orang yang harus menabung dulu untuk membeli alat-alat premium, masa tunggu ini membuat stimulasi belajar yang seharusnya bisa dimulai dengan memanfaatkan alat yang ada di sekitarnya menjadi terdistraksi. Keberdaan alat premium seolah-olah menutup mata kita dari benda-benda di sekitar rumah yang bisa dimanfaatkan untuk menstimulasi anak belajar.
Ini bukan perkara alat-alat premium. Ini perkara menemani anak. Alat-alat premium hanyalah penunjang yang memudahkan. Peran orang tua atau orang dewasa tetap memegang puncak.

Mengasuh Anak dengan Alat yang Tersedia di Sekitar

Orang tua jaman dulu tetap bisa mengajarkan skill kepada anak meski dengan keterbatasan alat penunjang. Mengajari berhitung dengan lidi. Mengajarkan life cycle dengan melihat langsung step demi step pertumbuhan hewan ternak. Menguatkan sensorik dan motorik dengan tanah, batu, pasir atau alat-alat yang ada di sekitarnya.

Aku merasa, ini bukan perkara alatnya. Ini perkara pendampingan penuh orang dewasa. Alat hanyalah fasilitas pendamping yang memudahkan orang dewasa untuk mentransfer pengetahuan sesuai dengan kapasitas logika anak.

Merasa cukup memberi anak tontonan Cocomelon agar anak belajar tiga kata ajaib; Sorry, Thank You, dan Please? Ngimpi jika tidak dibumikan oleh orang tuanya dalam keseharian. Si K sampai umur 4 tahun masih belajar bagaimana meminta maaf. Masih gedhe gengsinya, mudah minta maaf jika Abah atau Ibunya sudah terlihat benar-benar marah dan menyadari memang dia salah.
Boleh-boleh saja stalking bagaimana parenting selebgram, parenting blogger, parenting vlogger mendidik anak-anak mereka. Tetapi, please, enggak perlu 100% meniru, termasuk alat-alatnya. Enggak perlu menjadikan belum punya alat x sebagai legitimasi untuk tidak memulai sekarang juga saat usianya dirasa tepat.
Aku sempat kesindir dengan dhawuh seseorang, “Generasi milenial sekarang cenderung kurang kreatif karena banyaknya alat penunjang. Mau ndesain x saja musti ngajuin beli y. Padahal kan bisa pake alat yang sudah dipunya?”
Meski sindiran itu untuk urusan pekerjaan, tetapi aku kesindir untuk urusan belajar bareng anak. Oalah, Rek, mau sorting warna saja musti nunggu punya uang buat beli pom pom, padahal brick warna-warni segambreng itu bisa dipake.
Mau nemenin anak belajar baca saja musti nunggu punya duwit buat beli alat montessorian, padahal si K ogah belajar baca pake metode montessori, pakenya suka-suka dia.
Si K oke-oke saja main pasir kotor di halaman, bukan pasir kinetik, asal sama Ibu. Si K iya-iya saja saat kugambarkan mobil dan kubilang ia tobot x, asal saat coret-coret ditemenin Ibu tanpa hape. Tuh, sampe ditegasin kalo nemenin ga boleh main hape.
It’s not about premium stuff, its about you; their mum and dad.
Exit mobile version