Site icon Widi Utami

Dongeng Anak Pendek; Baru Klinting dan Legenda Rawa Pening

Dongeng Anak Pendek; Baru Klinting dan Legenda Rawa Pening

Dongeng Anak Pendek; Baru Klinting dan Legenda Rawa Pening

Aku suka didongengi Bapak. Di usia 30 tahun ini, dongeng-dongeng Bapak masih melekat kuat dan kudongengkan juga kepada anak-anak. Salah satu dongeng anak pendek yang sangat melekat di alam bawah sadarku adalah kisah Baru Klinting dan Legenda Rawa Pening. Kisah ini melekat erat di kalangan anak-anak yang tinggal di Salatiga. Rawa Pening terletak di Banyubiru, salah satu spot wisatanya; Bukit Cinta, sangat kental dengan nuansa ular naga yang panjang.

Legenda Rawa Pening termasuk dongeng anak pendek jenis floklor. Floklor adalah budaya yang diwariskan secara turun-menurun. Dongeng jenis floklor adalah cerita yang berkembang dan melekat di masyarakat dan telah diwariskan dengan turun-menurun, baik dengan cerita lisan maupun ada peninggalannya. Karena turun-menurun ini, bisa jadi jalan cerita yang diceritakan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Baru Klinting dan Legenda Rawa Pening

Tersebutlah pada jaman dahulu kala, Dewi Ariwulan melahirkan bayi. Bayinya tidak berwujud manusia, namun berwujud ular naga. Meskipun berbentuk ular naga, Baru Klinting bisa berbicara layaknya manusia. Ketika Dewasa, Baru Klinting bertanya kepada sang Ibunda, dimana gerangan ayahnya berada.

Ibunda menjawab, “Ayahmu adalah Ki Hajar Sarwokartolo, seorang Resi yang bertapa di Gunung Merbabu.”

Baru Klinting mencari ayahnya di Gunung Merbabu. Namun, setelah bertemu, Ki Hajar Sarwokartolo tidak mengakui bahwa Baru Klinting adalah anaknya. “He, Bocah Cilik, yen bener kowe anakku, kowe bisa mlungkeri Gunung Sleker.”

Ki Hajar Sarwokartolo meminta Baru Klinting untuk membuktikan bahwa dia adalah anaknya dengan melingkari Gunung Sleker, nama lain dari Gunung Merbabu. Baru Klinting beranjak melingkari gunung, namun masih kurang sedikit lagi kepalanya tidak mencapai ekornya. Baru Klinting menjulurkan lidahnya agar ia bisa meraih ekornya, namun Ki Hajar memotong lidah Baru Klinting.

Ki Hajar meminta Baru Klinting untuk bertapa di Gunung Merbabu selama satu minggu. Tidak disangka, ada warga yang menemukan ular naga di Gunung Merbabu. Rakyat Desa itu pesta pora dengan daging ular naga yang melimpah. Baru Klinting yang dipotong-potong oleh rakyat desa menjelma menjadi seorang nak kecil yang bau dan bersisik.

Baru Klinting berkeliling desa, meminta makan kepada warga desa. Semua warga desa merasa jijik dan mengusir Baru Klinting. Hanya mbok Rondo, seorang janda tua, yang menerima Baru Klinting dan memberinya makan.

Suatu hari, warga Desa mengadakan pesta wayang. Baru Klinting diusir untuk kedua kalinya. Baru Klinting marah. Di depan pendopo Balai Desa, Baru Klinting menancapkan lidi. Membuat sayembara, “Barang siapa yang bisa mencabut lidi ini akan mendapatkan hadiah, namun barang siapa yang sombong dan tidak bisa mencabut lidi ini akan mendapatkan mala petaka.”

Satu persatu warga Desa mencobanya. Mereka menertawakan Baru Klinting, “Alah cuma sebatang lidi.”

Namun, siapa sangka. Ternyata tidak ada satu pun warga desa yang mampu mencabut batang lidi. Baru Klinting mencabutnya sendiri, tidak disangka, air mengucur deras dari bekas cabutan lidi tersebut dan menenggelamkan desa. Hanya Mbok Rondo yang selamat karena sebelumnya dipesan oleh Baru Klinting untuk naik ke dalam lesung ketika ada air keluar.

Warga Desa tenggelam. Jadilah Rawa Pening. Sementara, Desa dimana lidi jatuh disebut Kendali Sodo.

 

Exit mobile version