Dear, pak Sopir Angkot,
Pagi ini aku sedikit terkejut ketika ada berita demo agar pak Walikota melarang keberadaan transportasi online di kota Salatiga. Akhirnya apa yang terjadi di luar kota, terjadi juga di Salatiga.
Hasilnya sesuai dengan harapan, pak Walikota melarang transportasi online masuk ke kota Salatiga.
Dear, pak Sopir Angkot
Tahukah Bapak kenapa armada transportasi online begitu diminati? Karena netizen kian sibuk dengan segambreng to do list yang harus dikerjakan sehingga menuntut kepraktisan, termasuk soal transportasi.
Sungguh, ini bukan perkara online atau konvensional.
Ingatkah ketika Bapak masih saja mencari penumpang, padahal di dalam sudah penuh berdesak-desak. Di dalam ada seorang Ibu yang tengah hamil tua, harus menahan sesak napas karena asap rokok. Ya, penumpang itu aku, saat hamil si K dulu. Aku tersiksa, dengan kondisi badanku sendiri, masih ditambah asap rokok plus desakdesakan yang na’udzubillah.
Apakah salah jika aku memilih untuk memanggil tukang ojek melalui gadget di genggaman karena aku sudah tak kuat lagi jalan jauh?
Andai Bapak mau sedikit menghargai penumpang dengan mengangkut sesuai kapasitas, melarang penumpang merokok di dalam, tentu netizen dengan senang hati menggunakan armadamu tanpa harus dipaksa.
Manusiakanlah penumpangmu, kau akan dicari dan dicinta.
Dear, pak Sopir Angkot
Aku ingin bertanya, tidak adakah batasan waktu ngetem untuk angkota? Aku pernah beberapa kali misuh-misuh, lama sekali ngetemnya. Menghabiskan waktu satu jam hanya untuk menempuh jarak 10 km, yang jika menggunakan sepeda motor atau ojek bisa ditempuh hanya dalam waktu 15 menit.
Di zaman serba cepat begini, membuang waktu 45 menit untuk duduk bengong di angkot sungguh menyebalkan, itu setara dengan satu jam perkuliahan, 50an slide presentasi dosen, dan… satu episode drakor, Pak. Hiks-hiks.
Paling tidak, hargai waktu kami, dan kami akan dengan senang hati menggunakan jasamu. Bahkan mungkin tidak keberatan untuk menambah bayaran jika menjadi satu-satunya penumpang dari awal kami naik hingga sampai ke tujuan.
Dear, pak Sopir Angkot
Pernahkah Bapak kelaparan malam-malam. Di rumah tidak ada mie rebus, hanya ada beras yang harus ditanak jika ingin makan. Sementara istri Bapak sedang rempong dengan anak yang rewel sepanjang malam. Istri Bapak pun tidak berbeda keadaan perutnya, bahkan jauh lebih lapar daripada Bapak.
Belum ya, Pak?
Saat di situasi tersebut, aku memilih untuk memanggil delivery order yang katanya mematikan pasaran angkota itu, hanya agar tetap waras, tetap tahan banting untuk tidak membentak anak, Pak. Hahahaha, iya, bagiku sedikit merogoh kocek adalah pilihan yang lebih baik daripada mengorbankan anak.
Penawaran ada karena adanya permintaan dari pasar, kan?
Dear pak Sopir Angkot,
Tidak bisa dipungkiri jaman semakin maju. Aplikasi online memang membantu. Errr, bagaimana jika Bapak mengusulkan ke paguyuban untuk membuat aplikasi online?
Setidaknya, kami para netizen mengantongi CP angkota untuk masing-masing rute. Tak masalah jika harus menambah berapa rupiah setiap kami meminta dijemput di luar pangkalan, asal rate penghitungannya jelas.
Sederhana saja aplikasinya, Pak. Untuk sementara. Nggak sampai seharga beli angkota kok, Pak. Jika ditanggung orang satu paguyuban nggak bakal berat. Suwer, daku nggak bohong, karena daku istri developper salah satu aplikasi online itu.
Dah, Pak. Segitu saja curhatnya. Cam kan ya, Pak, ini bukan soal online atau konvensional. Bukan soal kami pilih kasih. Tetapi kami memilih sesuai dengan kebutuhan kami.
Jika Bapak menungkatkan kualitas angkutan kota, duh, betapa senangnya netizen, Pak. Bersaing dengan kualitas yang lebih baik, jangan sekedar demo dan masih membuat netizen sebal dengan berbagai keluhan. Lama-lama netizen memilih kredit mobil sekalian daripada uring-uringan dengan transportasi umum. Jangan sampai, Pak, aku takut Salatiga semakin macet.