Site icon Widi Utami

Dear K, Surat Terbuka dari Ibu Penyandang Hard of Hearing

Dear K,

Saat kau mulai bisa membaca, mungkin kau baru menyadari jika Ibu tidak seperti Ibu teman-temanmu. Ya, Ibu memang berbeda. Ibu spesial, Nak.

Ibu seorang penyandang deaf. Ah, bukan. Ibu tidak diakui sebagai penyandang deaf karena Ibu masih bisa ngobrol ngalor-ngidul. Pun, Ibu juga tidak diakui sebagai orang dengar, karena Ibu tidak bisa mendengar jika tidak membaca mulut orang-orang. Belakangan Ibu menemukan istilah yang paling tepat, Hard of Hearing. Pendengar kelas berat, eh, maksud Ibu, frekuensi dengar Ibu sangat tinggi, 67 dB dan 73 dB. Kau bisa membayangkan, frekuensi untuk ukuran telinga dengar adalah 20 dB dan telinga tuli adalah 80 dB. Frekuensi Ibu nyaris menyentuh frekuensi tuli, kan?

 

Itulah kenapa, Nak, Abah mengajarimu untuk memanggil Ibu dengan menyentuh Ibu, tetapi jika memanggil Abah atau yang lain cukup dengan berteriak.


Dear K,

Suatu saat kau akan menyadari, jika selama ini nada Ibu dalam mengaji, sholawat, menyanyi atau mendongeng untukmu tidak seperti sebagaimana mestinya. Nada Ibu aneh, datar kalau kata orang. Tempo Ibu menyanyi tidak pas, kadang kelewat lambat, kadang terlalu cepat. Cara Ibu melafadzkan vokal keliru, apatah lagi saat melafadzkan bahasa Inggris, hancur lebur. Bahkan dulu Ibu disuruh diam saat sedang berlatih Paduan Suara di kelas.

Tetapi, untukmu, Ibu tetap bernyanyi, bersholawat, mengaji, sehancur apapun suara Ibu. Satu hal yang harus kaupahami, Nak.

Ibu mati-matian membebat rasa malu, memasang muka badak saat orang lain mengernyitkan kening mendengar Ibu menyanyi untukmu, karena Ibu berharap suara Ibu lah yang pertamakali terukir di telingamu, juga hatimu, seburuk apapun itu.

Dear K,

Ibu dan Abah mempunyai cara unik untuk berkomunikasi. Kami mempunyai forum rahasia, yang isinya hanya Ibu dan Abah. Forum ini buatan Abah, tentu saja, untuk menulis apapun yang perlu diperbincangkan.

Kadangkala kami menulis di blog jika kami memandang apa yang kami tulis bukanlah aib pasangan yang harus ditutup rapat-rapat. Dengan harapan tulisan tersebut bermanfaat bagi sesiapapun yang membaca.

Ya, tulisan adalah salah satu cara berkomunikasi paling baik menurut Ibu.

Kau, Nak. Kelak, suka menulis atau tidak, kau akan tetap menulis untuk Ibu kan? Ibu tidak akan memaksamu untuk suka menulis seperti Ibu, tetapi Ibu sungguh berharap kau menjadikan tulisan sebagai hobi untuk berkomunikasi dengan Ibu.

Seorang sastrawan berkata, Manusia boleh mati, tulisan kan ‘mengabadi’.

Dear K,

Kau akan bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang. Ibu dan Abah sepakat untuk mengenalkanmu dengan pergaulan yang beragam sejak masih di kandungan. Pun, dengan teman-teman Ibu yang spesial, Ibu mengenalkanmu dengan mereka. Mengajakmu bercanda dengan bahasa mereka.

Kau sedang Bercanda dengan Budhe Dewi, Nak. 🙂

Kautahu, Nak?

Usiamu saat itu baru enam bulan. Kaubaru bisa tengkurap, belum mampu duduk sendiri. Ibu bertemu dengan bulik Dewi, teman Ibu penyandang deaf. Kau begitu akrab dengannya, tertawa riang. Bercanda. Bermain Ciluk Ba.

Hati Ibu meleleh sambil merapalkan doa, semoga sepanjang hidupmu kauseperti itu, Nak. Menebarkan kebahagiaan kepada siapapun.

Dear K,

Hari ini kaubaru 17 bulan. Mari Ibu ceritakan apa yang sedang terjadi. Di Instagram sedang viral video pem-bully-an seorang penyandang autis. Sakit hati Ibu melihat betapa tega orang-orang yang berada disana. Seorang mahasiswa menggoda penyandang autis, orang-orang di sekitarnya bertepuk tangan, tertawa. Tidak ada satu pun yang menegur mahasiswa tersebut. Kabarnya, kejadian itu sudah ‘biasa’, sehingga penyandang autis tersebut marah dan melemparkan tong sampah ke mahasiswa kurang ajar tadi.

Iya, Nak. Mahasiswa kampus ternama, tega berlaku seperti itu. Sungguh, kejeniusan tidak menjamin bagus pula akhlaknya.

Nak, Ibu berharap, kelak jika kau menjumpai peristiwa itu, apapun posisimu, lindungi penyandang difabel dari pem-bully-an. Setidaknya, bayangkan jika yang di-bully adalah Ibumu sendiri.

Karena, ‘sesempurnanya’ kita, ‘sespesial’nya kita, Robbuna pula yang Memberi. Sungguh durhaka jika kita menertawakan mereka yang spesial. Karena menertawakan mereka sama saja menertawakan Robbuna, yang Menciptakan orang-orang spesial.

Dear K,

Kau harus terbiasa berjumpa dengan orang-orang berpikiran picik yang hobinya meledek Ibu. Suka tidak suka, kau harus berlatih untuk mengelola emosi dengan keberadaan orang-orang ini. Ibu harap, kaubelajar dari Abah, bagaimana menghadapi orang-orang berpikiran picik ini.

Abah memilih untuk merangkul orang-orang ini. Tetap berlaku baik pada mereka. Tidak membalas dengan kata kasar, apatah lagi membalas dengan fisik. Karena bagi Abah, menyadarkan jika mereka salah jauh lebih penting daripada membalas dendam.

Mbak Alissa Wahid berkata, pem-bully belajar bully dari proses tumbuh kembangnya. Ya, ada yang salah dalam proses tumbuh kembangnya, dan itu tidak akan selesai hanya dengan mencaci-maki mereka. Dan kau, Nak, jangan balik mem-bully para pelaku bully, meski hanya sebatas kata-kata. Sulit, ya, Nak? Abah bilang, mah, kita ini belajar sepanjang hayat, khilaf mah biasa, yang penting belajar tak kenal henti.

Dear K,

Ada yang terlewat tidak Ibu ceritakan di awal. Sejak menikah, Ibu begitu khawatir, bisakah menjadi Ibu yang baik bagi anak-anakku? Sejak kau berada di rahim Ibu, kekhawatiran Ibu semakin menjadi-jadi. Nyaris setiap hari Ibu curhat ke Abah, “Bagaimana nanti kalau Abah keluar, cucian banyak, anak sedang tidur, padahal aku tidak bisa mendengar suara tangisan? Bagaimana nanti jika aku nggak dengar anak menangis? Bagaimana jika nanti aku nggak paham anak bicara apa? Bagaimana cara memberikan stimulasi suara ke anak, sementara Abah sibuk kerja? Bagaimana jika…”

Ibu lupa waktu itu, Nak, jika Robbuna sudah Menyediakan apapun yang Ibu butuhkan. Memberikan Ibu seorang suami freelancer, sehingga saat kautidur Ibu bisa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa khawatir kaubangun dan menangis, ada Abah yang sedang bekerja di meja kerja pojok rumah, sigap mendengar tangismu. Abah yang tidak pernah protes karena harus ikut bangun setiap kali kau menangis di malam hari, untuk membangunkan Ibu yang terlelap.

Robbuna pula yang Menyediakan keluarga yang sigap membantu Ibu untuk mendidikmu. Menemanimu saat Ibu kelelahan. Membantu Ibu melatihmu bicara. Bahkan kau yang baru berusia 17 bulan, sedikit banyak paham jika kau harus mendekati Ibu setap meminta sesuatu, sedangkan jika dengan Abah kau cukup berteriak, “Abah.. Bah!”

Iya, Nak, Robbuna sudah Menyediakan apa yang kita Butuhkan, bahkan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran pun.

Dear K,

Surat Ibu kali ini sudah begitu panjang. Ibu cukupkan sampai sini ya, Nak. Ada suratnya Budhe Arinta Adiningtyas untuk Mas Amay juga, kaubisa membacanya disini. Juga surat dari Budhe Rani R Tyas untuk Kakak Han yang mau punya adik, kau bisa mengintipnya disini. Mereka berdua adalah sahabat Ibu. Budhe Arin dari Solo, Budhe Rani dari Kudus. Kami belum pernah bertemu. Ibu sangat bersyukur dengan keberadaan mereka, meski baru sebatas grup whatsupp, facebook dan blog.

With Love and Big Pray

Ibu

Exit mobile version